SOALINDONESIA–JAKARTA Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Eddy Soeparno menyoroti derasnya arus barang impor murah yang membanjiri pasar domestik tanpa standar kualitas dan keamanan yang jelas. Ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan memperketat pembatasan impor, demi melindungi konsumen sekaligus menjaga keberlangsungan industri lokal.
Menurut Eddy, kebijakan pembatasan tidak hanya perlu diterapkan pada pakaian bekas impor (thrifting), tetapi juga terhadap berbagai produk murah dari luar negeri yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan perekonomian nasional.
“Mungkin perlu lebih ditekankan bagaimana kita bisa melakukan pembatasan terhadap barang-barang dari luar negeri yang harganya murah, tapi belum tentu kualitas dan keamanannya terjamin,” ujar Eddy Soeparno saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (7/11/2025).
Evaluasi Kebijakan Impor Diperlukan
Eddy menegaskan, kebijakan impor Indonesia harus dievaluasi secara menyeluruh, agar tidak menjadi ancaman bagi pertumbuhan industri dalam negeri. Tren belanja barang thrifting yang semakin populer di kalangan masyarakat, kata dia, merupakan indikasi lemahnya regulasi dan daya saing produk lokal.
“Pemerintah perlu melihat kembali sejauh mana kebijakan impor ini mendukung ekonomi nasional. Jangan sampai pasar kita dibanjiri produk asing yang justru menekan pelaku usaha dan industri lokal,” tegas politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Ia mengingatkan, jika tidak segera dibenahi, fenomena impor barang murah bisa menggerus industri padat karya seperti tekstil dan garmen yang selama ini menjadi penopang besar lapangan kerja di Indonesia.
Impor Pakaian Bekas Terus Meningkat Tajam
Eddy mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM, yang menunjukkan bahwa volume impor pakaian bekas hingga Agustus 2025 mencapai 1.800 ton, melonjak tajam dibandingkan tahun 2021 yang hanya sekitar 7 ton.
“Kalau tren ini terus dibiarkan, bisa jadi semakin banyak pelaku usaha yang memilih bisnis thrifting daripada membangun pabrik atau memproduksi sendiri. Padahal, bisnis thrifting tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” papar Eddy.
Menurutnya, situasi ini justru bertolak belakang dengan visi pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional berbasis produksi dalam negeri.
Harga Murah Bukan Alasan Pembiaran
Meski memahami bahwa sebagian masyarakat memilih produk thrifting karena harga yang lebih murah, Eddy menilai hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan arus barang impor tanpa kendali.
“Memang banyak masyarakat yang memilih thrifting karena murah. Tapi sebagian barang itu bisa jadi masuk tanpa pembatasan atau bahkan melalui jalur ilegal. Ini perlu diawasi dan dibatasi,” ujarnya menegaskan.
Ia juga menyoroti aspek keamanan dan kesehatan produk impor murah, yang seringkali tidak melalui uji standar resmi. Barang-barang tersebut berpotensi mengandung bahan berbahaya atau tidak layak pakai, sehingga dapat menimbulkan risiko bagi konsumen.
Dorong Proteksi Produk Lokal
Sebagai solusi, Eddy mendorong pemerintah untuk memperkuat kebijakan proteksi dan pemberdayaan industri lokal, khususnya sektor UMKM dan manufaktur. Menurutnya, proteksi bukan berarti menutup diri dari perdagangan global, melainkan menjaga keseimbangan pasar agar produk lokal tetap bisa bersaing.
“Kita harus mendorong agar produk dalam negeri berkembang dan lebih kompetitif, bukan justru terdesak oleh banjir barang impor,” tutur Eddy.
Ia menambahkan, kolaborasi lintas kementerian seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Bea Cukai diperlukan untuk memperkuat pengawasan serta memastikan setiap barang yang masuk ke Indonesia memenuhi standar mutu dan legalitas.
“Jika pengawasan dilakukan dengan baik, maka produk lokal bisa tumbuh dan masyarakat pun lebih terlindungi dari produk abal-abal,” tutup Eddy.











