SOALINDONESIA–JAKARTA Harga minyak dunia kembali melemah pada perdagangan Selasa (28/10/2025) atau Rabu pagi waktu Jakarta. Penurunan sekitar 2% ini menjadi yang ketiga secara berturut-turut, di tengah kekhawatiran pasar atas dampak sanksi Amerika Serikat terhadap dua raksasa minyak Rusia, Lukoil dan Rosneft, serta kemungkinan langkah OPEC+ untuk meningkatkan produksi dalam waktu dekat.
Dikutip dari CNBC, harga minyak mentah Brent berjangka ditutup turun USD 1,22 atau 1,9% menjadi USD 64,40 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD 1,16 atau 1,9% ke posisi USD 60,15 per barel.
Sanksi Baru AS dan Kekhawatiran Pasokan
Pelemahan harga minyak ini terjadi hanya sepekan setelah Brent dan WTI mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak Juni 2025. Lonjakan sebelumnya dipicu oleh keputusan Presiden AS Donald Trump menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia atas perang yang masih berlangsung di Ukraina.
Langkah tersebut menargetkan dua perusahaan besar — Lukoil dan Rosneft — dalam upaya memperketat tekanan ekonomi terhadap Moskow.
Namun, di sisi lain, investor kini mulai memperkirakan bahwa dampak sanksi tersebut terhadap pasokan global tidak akan terlalu signifikan. Pasalnya, pemerintah AS memberikan pengecualian kepada beberapa bisnis Jerman milik Rosneft, dengan alasan aset tersebut tidak lagi berada di bawah kendali Rusia.
“Trump yang memberikan keringanan ini kepada Jerman memberi kesan bahwa mungkin ada lebih banyak ruang gerak terkait sanksi ini, sehingga hal ini menghilangkan beberapa kekhawatiran langsung bahwa pasokan dapat menyusut drastis,” ujar Phil Flynn, Analis Senior Price Futures Group, Rabu (29/10/2025).
Langkah itu dinilai memberikan sedikit stabilitas di pasar, meski harga tetap tertekan oleh kekhawatiran ekonomi global yang melambat dan meningkatnya produksi dari negara-negara OPEC+.
IEA: Dampak Sanksi Terbatas karena Kapasitas Cadangan
Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA), Fatih Birol, menilai bahwa dampak sanksi AS terhadap pasar minyak global kemungkinan terbatas, karena masih adanya kelebihan kapasitas produksi di beberapa negara anggota OPEC+.
Lukoil, yang berkantor pusat di Moskow, diketahui menyumbang sekitar 2% dari total produksi minyak dunia. Namun, penurunan ekspor dari Rusia diyakini bisa ditutupi oleh negara lain yang memiliki kapasitas cadangan cukup besar, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Pabrik India Hentikan Pemesanan Minyak Rusia
Sementara itu, pabrik penyulingan di India dilaporkan belum mengajukan pesanan baru untuk pembelian minyak Rusia sejak sanksi diberlakukan. Mereka memilih menunggu kejelasan lebih lanjut dari pemerintah India dan para pemasok mengenai dampak sanksi terhadap jalur pasokan.
Seorang sumber Reuters menyebut, “Banyak penyuling di India menahan diri karena khawatir pengiriman minyak Rusia bisa terganggu atau bahkan diblokir sepenuhnya oleh pihak ketiga.”
India merupakan salah satu pembeli terbesar minyak Rusia setelah invasi ke Ukraina tahun 2022, memanfaatkan harga diskon yang ditawarkan Moskow. Namun, langkah sanksi baru dari Washington membuat posisi India kini serba sulit, terutama di tengah negosiasi perdagangan dengan AS.
OPEC+ Pertimbangkan Tambah Produksi
Sementara itu, kelompok OPEC+ — yang terdiri dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia — dikabarkan tengah mempertimbangkan peningkatan produksi minyak secara moderat pada Desember 2025.
Langkah itu disebut sebagai upaya menstabilkan pasar global setelah bertahun-tahun menahan produksi untuk menjaga harga tetap tinggi.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih besar tentang seberapa banyak kapasitas cadangan yang dimiliki OPEC+,” kata Flynn.
CEO Saudi Aramco dalam kesempatan terpisah menyatakan bahwa permintaan minyak mentah global masih kuat, terutama dari China, meski pasar tengah bergejolak akibat sanksi dan ketidakpastian ekonomi global.
“Permintaan tetap sehat bahkan sebelum sanksi dijatuhkan. Pasar minyak masih memiliki fondasi yang solid,” ujar CEO Aramco dalam konferensi di Riyadh.
Produksi OPEC+ Diharapkan Redam Dampak Sanksi
Menurut Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates, peningkatan produksi OPEC+ dapat menjadi penyeimbang terhadap potensi penurunan pasokan minyak Rusia.
“Kenaikan produksi OPEC+ akan membantu menjaga harga tetap stabil di tengah ketidakpastian akibat sanksi AS terhadap Rusia,” kata Lipow.
Pasar minyak juga masih menunggu hasil pertemuan tingkat tinggi antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping yang dijadwalkan berlangsung di Korea Selatan pada Kamis (30/10/2025). Pertemuan ini diperkirakan akan membahas prospek kerja sama perdagangan antara dua konsumen minyak terbesar dunia itu.
“Beijing berharap Washington bisa menemukan titik temu agar interaksi tingkat tinggi kedua negara dapat berjalan lancar,” kata Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam percakapannya dengan Menlu AS Marco Rubio, Senin lalu.
Outlook Pasar: Tekanan Masih Berlanjut
Meski pasar tampak stabil untuk sementara, analis memperingatkan potensi tekanan lanjutan terhadap harga minyak dalam beberapa pekan mendatang. Hal ini disebabkan kombinasi dari meningkatnya pasokan global, lemahnya permintaan akibat perlambatan ekonomi, serta ketidakpastian geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah.
“Jika OPEC+ benar-benar meningkatkan produksi dan sanksi terhadap Rusia tidak terlalu membatasi pasokan, kita bisa melihat harga Brent turun di bawah USD 60 per barel dalam jangka pendek,” kata seorang analis dari Goldman Energy Watch.
Untuk sementara, pasar akan menunggu keputusan resmi OPEC+ bulan depan dan perkembangan diplomasi AS–China, yang dinilai akan sangat memengaruhi arah harga minyak global ke depan.











