SOALINDONESIA–JAKARTA Polda Metro Jaya resmi menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan yang memicu gelombang demonstrasi berujung ricuh pada akhir Agustus 2025 di Jakarta.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, mengatakan para tersangka diduga menyebarkan ajakan untuk merusak fasilitas umum melalui media sosial dan selebaran. Ajakan itu bahkan menargetkan pelajar dan anak-anak untuk ikut turun ke jalan.
“Kluster penghasut ini juga menghasut lewat medsos anak-anak dan pelajar untuk melakukan aksi yang berujung anarkis, melawan polisi, ajakan untuk berbuat kerusuhan serta penyampaian tidak perlu takut karena akan dilindungi,” kata Ade Ary, Jumat (5/9).
Daftar Tersangka
Keenam orang yang ditetapkan tersangka yakni:
Delpedro Marhaen (DMR), Direktur Lokataru Foundation sekaligus admin akun Instagram @lokataru_foundation
Muzaffar Salim (MS), staf Lokataru dan admin akun Instagram @blokpolitikpelajar
Syahdan Husein (SH), admin akun Instagram @gejayanmemanggil
Khariq Anhar (KA), admin akun Instagram @AliansiMahasiswaPenggugat
RAP, admin akun Instagram @RAP, berperan membuat tutorial pembuatan bom molotov serta koordinator kurir di lapangan
Figha Lesmana (FL), admin akun TikTok @fighaaaaa
Kritik dari Koalisi Sipil
Di sisi lain, penangkapan dan penetapan tersangka terhadap keenam orang ini menuai kritik dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD).
Anggota TAUD, Nena Hutahaean, menyebut proses hukum cacat prosedur karena penetapan tersangka dilakukan tanpa melalui tahapan pemeriksaan yang jelas.
“Secara formil sudah cacat prosedur hukum. Berpendapat di media sosial itu sangat mungkin sekali, tanpa proses yang jelas, kita bisa ditetapkan sebagai tersangka dan dijemput,” ujarnya di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (6/9).
Anggota TAUD lainnya, Ma’ruf Bajammal, juga mendesak Polda Metro Jaya menghentikan perkara ini. Ia menilai usulan Menteri HAM Natalius Pigai untuk menyelesaikan kasus lewat restorative justice tidak tepat.
“Yang patut dilakukan dalam kasus Delpedro Marhaen dan kawan-kawan bukan restorative justice, tapi penghentian perkaranya,” kata Ma’ruf.