SOALINDONESIA–JAKARTA Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) secara resmi meluncurkan aplikasi PRISMA (Penilaian Risiko Bisnis dan Hak Asasi Manusia), sebuah inovasi digital yang bertujuan memperkuat penegakan HAM di sektor bisnis. Aplikasi ini diharapkan menjadi instrumen penting untuk membantu pelaku usaha di Indonesia mengidentifikasi dan mengelola potensi risiko pelanggaran HAM dalam operasional mereka.
Menteri HAM, Natalius Pigai, menyampaikan bahwa peluncuran PRISMA adalah bagian dari strategi nasional untuk mewujudkan praktik bisnis yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan berbasis HAM.
“PRISMA dirancang agar para pelaku usaha dapat memahami, mengidentifikasi, dan mengelola risiko pelanggaran HAM secara sistematis dan terukur. Kami mengajak seluruh pelaku usaha untuk aktif menggunakan aplikasi ini,” ujar Pigai di Jakarta, Sabtu (4/10/2025).
Mengenal PRISMA dan Pilar UNGPs
PRISMA hadir sebagai terobosan yang selaras dengan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) — panduan internasional yang memastikan kegiatan usaha tidak berdampak negatif terhadap HAM.
UNGPs terdiri dari tiga pilar utama:
1. Protect: Negara wajib melindungi HAM dari dampak negatif aktivitas bisnis.
2. Respect: Perusahaan wajib menghormati HAM dalam seluruh rantai kegiatan usaha.
3. Remedy: Masyarakat memiliki hak atas pemulihan jika mengalami pelanggaran HAM akibat aktivitas bisnis.
Dengan PRISMA, pelaku usaha dapat melakukan penilaian mandiri (self-assessment) terhadap potensi pelanggaran HAM serta merancang langkah mitigasi secara terukur.
“Pendekatan ini akan memperkuat reputasi Indonesia dalam kancah global sebagai negara yang mengedepankan bisnis beretika dan menghormati hak asasi manusia,” tambah Pigai.
Dasar Hukum: Surat Edaran dan Perpres 139/2024
Peluncuran PRISMA didukung dasar hukum kuat melalui Surat Edaran Menteri HAM Nomor M.HA-01.HA.03.02 Tahun 2025 tentang Penilaian Kepatuhan Bisnis dan HAM Bagi Pelaku Usaha. Surat edaran ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024, yang menegaskan peran Kemenham dalam memimpin koordinasi kebijakan HAM di Indonesia.
“Surat edaran ini memberikan kepastian dan arah jelas bagi dunia usaha untuk membangun sistem kepatuhan HAM yang nyata dan terukur,” tegas Menteri Pigai.
Hasil Proyek PKN, Didorong Penerapan Nyata di Lapangan
Pengembangan PRISMA merupakan bagian dari Proyek Perubahan Diklat PKN (Pelatihan Kepemimpinan Nasional) Tingkat II Angkatan XIV Tahun 2025, yang digagas oleh Pungka M Sinaga, Kepala Biro Umum, Protokol, dan Humas Kemenham.
Proyek ini bertujuan mengintegrasikan pendekatan HAM ke dalam sistem manajemen risiko bisnis melalui tiga langkah utama:
Penyusunan dasar regulasi: melalui surat edaran menteri sebagai instrumen legal formal.
Pendampingan teknis kepada pelaku usaha: untuk memahami dan menggunakan PRISMA secara efektif.
Monitoring dan evaluasi berkala: terhadap penerapan prinsip HAM dalam sektor usaha.
PRISMA: Jembatan antara Bisnis dan Kemanusiaan
PRISMA diharapkan dapat menjembatani kepentingan ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia secara berimbang. Dalam ekosistem bisnis global yang semakin menuntut akuntabilitas sosial dan etika, aplikasi ini menjadi solusi penting yang:
Menyediakan dashboard digital untuk penilaian risiko HAM.
Mendorong kepatuhan sukarela yang berujung pada kepercayaan publik.
Menjadi bagian dari indikator ESG (Environmental, Social, and Governance) yang kini menjadi standar investasi global.
Langkah Selanjutnya: Sosialisasi dan Adopsi Massal
Kemenham menyatakan komitmennya untuk melakukan sosialisasi luas ke dunia usaha, termasuk sektor industri, perbankan, manufaktur, dan UMKM. Ke depannya, PRISMA akan terintegrasi dengan sistem nasional dan menjadi indikator dalam penilaian kepatuhan perusahaan terhadap regulasi HAM.
“Kami ingin memastikan bahwa pelaku usaha tidak hanya memahami HAM sebagai konsep, tapi juga menerapkannya dalam keputusan dan aktivitas bisnis sehari-hari,” tutup Natalius Pigai.