SOALINDONESIA–JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya perbedaan data signifikan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Temuan ini menyoroti adanya izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi di pulau berukuran di bawah 10 hektare, padahal hal tersebut dilarang keras oleh peraturan pemerintah.
“Data versi ESDM ada 246, sementara data versi KKP mencapai 372. Jadi ini masalah data dan pemahaman. Apakah tambang di pulau yang ada di sungai itu masuk kategori pulau kecil atau tidak? Kata KKP iya, kata ESDM enggak,” ujar Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria, dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).
Tambang Ilegal di Pulau di Bawah 10 Hektare
Menurut Dian, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 10 Tahun 2024, kegiatan tambang di pulau dengan luas di bawah 100 kilometer persegi (sekitar 10 hektare) dilarang keras. Namun, hasil pemetaan KPK menunjukkan ada 43 IUP yang justru beroperasi di pulau-pulau kecil di bawah batas ketentuan tersebut.
“Itu sama saja menghabisi pulau itu. Kadang orang bilang, ‘Tenang saja Pak, kita masih punya 17.000 pulau.’ Tapi dampaknya tidak hanya ke pulau, melainkan juga ke ekosistem dan ekoregion laut di sekitarnya,” tegas Dian.
IUP di Kawasan Hutan Tanpa Izin Pinjam Pakai
Selain di pulau kecil, KPK juga menemukan bahwa dari 246 IUP versi ESDM, sebanyak 171 berada di kawasan hutan. Ironisnya, hanya 21 persen yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Bayangkan, sudah di pulau kecil, tidak punya izin pinjam pakai, jelas niatnya mau habisin pulau itu. Mereka pikir siapa yang mau ngawasin di pelosok begitu,” ujarnya.
Reklamasi dan Dokumen Lingkungan Bermasalah
KPK turut menemukan bahwa hanya 63 persen dari 246 IUP yang menyetor jaminan reklamasi, padahal kewajiban tersebut merupakan bagian penting dari tanggung jawab pascatambang. Bahkan, kurang dari 50 perusahaan memiliki dokumen lingkungan yang lengkap.
“Dokumen lingkungan hidup (LH) juga bermasalah. Banyak tambang yang tidak memiliki izin lingkungan sama sekali, padahal wajib,” ungkap Dian.
Tak Punya Izin Terminal dan Tak Bayar Royalti
Permasalahan juga muncul dalam aspek transportasi dan kewajiban keuangan. Menurut KPK, terdapat 52 pulau kecil yang memiliki aktivitas tambang tetapi tidak memiliki izin terminal khusus (tersus) dari Kementerian Perhubungan. Padahal, izin tersebut menjadi dasar untuk penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kegiatan logistik tambang.
Lebih jauh, 49 IUP tidak pernah menyetor royalti atau iuran tetap, yang seharusnya menjadi kewajiban utama perusahaan tambang kepada negara.
“Nilai pajak yang dilaporkan dari 246 IUP hanya sekitar Rp165 miliar. Tapi ini kemungkinan besar jauh di bawah realitas. Karena sistem pelaporan pajak dan PNBP masih bersifat self-assessment, kalau diverifikasi bisa saja nilainya 10 kali lipat lebih tinggi,” kata Dian.
KPK Dorong Sinkronisasi Data dan Penegakan Hukum
KPK mendorong KKP, ESDM, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Perhubungan untuk menyatukan data pertambangan di pulau kecil serta menindak tegas perusahaan tambang yang melanggar aturan. Dian menegaskan bahwa perbedaan data dan lemahnya pengawasan justru membuka ruang bagi praktik korupsi dan perusakan lingkungan.
“Masalahnya bukan hanya beda data, tapi lemahnya koordinasi dan pengawasan di lapangan. Ini yang sedang kami dorong untuk diperbaiki,” pungkasnya.











