SOALINDONESIA–JAKARTA Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyesalkan dugaan penolakan pasien darurat oleh salah satu rumah sakit di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, terhadap seorang warga Baduy Dalam bernama Repan, yang menjadi korban pembegalan pada Minggu (2/11/2025). Repan disebut tidak mendapat perawatan medis karena tidak memiliki KTP.
Juru Bicara Kemenkes, Aji Muhawarman, menegaskan bahwa dalam kondisi darurat, rumah sakit wajib memberikan pertolongan terlebih dahulu tanpa mempertimbangkan kelengkapan administrasi.
“Kalau memang kondisi darurat, mesti ditangani lebih dulu,” kata Aji di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Aji menambahkan, pihaknya akan meminta penjelasan dari rumah sakit terkait dan menegaskan pentingnya mengungkap identitas fasilitas kesehatan yang menolak pasien tersebut.
“Sebaiknya rumah sakit yang menolak harus dibuka. Ditolak siapa?” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, nama rumah sakit yang dimaksud belum diungkap secara resmi. Kemenkes menyatakan akan menelusuri laporan tersebut dan memastikan semua rumah sakit patuh pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang mewajibkan penanganan pasien gawat darurat tanpa syarat administratif.
Kronologi: Dibegal dan Luka Bacok di Tangan
Kasus bermula ketika Repan, warga Baduy Dalam yang berjualan madu di kawasan Rawasari, Cempaka Putih, menjadi korban pembegalan oleh empat pria tak dikenal sekitar pukul 03.00 WIB, Minggu dini hari.
Kepala Desa Kanekes, Oom, membenarkan bahwa Repan mengalami luka bacok di tangan kiri akibat melawan para pelaku.
“Si Repan itu jualan di daerah Rawasari. Sekitar jam 3 subuh datang dua orang menjambret, terus dilawan. Lalu datang lagi dua orang lain, langsung membacok ke arah pipi dan badan, tapi luka parah di tangan kiri — sampai dijahit 10 jahitan,” ujar Oom kepada wartawan, Selasa (4/11/2025).
Menurut Oom, pelaku pembegalan berhasil kabur setelah menyerang korban dan membawa kabur barang-barang milik Repan.
Ditolak Rumah Sakit Karena Tak Punya KTP
Usai kejadian, Repan yang bersimbah darah sempat mendatangi rumah sakit di kawasan Cempaka Putih untuk meminta pertolongan. Namun, menurut keterangan Kepala Desa Kanekes, pihak rumah sakit menolak memberikan perawatan karena Repan tidak memiliki KTP, yang memang lazim bagi warga Baduy Dalam.
“Korban datang ke rumah sakit tapi tidak ditangani karena tidak punya KTP, kan orang Baduy Jero (Baduy Dalam),” kata Oom.
Tak menyerah, Repan kemudian berjalan kaki menuju Tanjung Duren untuk mencari kenalannya bernama Pak Melo. Dalam perjalanan, kondisinya sempat kritis karena banyak kehilangan darah.
“Dia hampir kehabisan darah. Setelah sampai di rumah Pak Melo, langsung dibawa ke rumah sakit lain dan dijelaskan bahwa dia orang Baduy Dalam, jadi tidak punya KTP,” tambah Oom.
Kini, korban masih menjalani perawatan medis di Jakarta dan dalam proses pemulihan luka, sekaligus menjalani pemeriksaan oleh kepolisian terkait peristiwa pembegalan tersebut.
Kasus Ditangani Polisi
Kasus ini telah dilaporkan ke Polsek Cempaka Putih, dengan nomor laporan LP/B/83/XI/2025/SPKT/POLSEK CEMPAKA PUTIH/POLRES METRO JAKPUS/POLDA METRO JAYA.
Pihak kepolisian tengah menyelidiki identitas para pelaku yang masih buron, termasuk memeriksa saksi di lokasi kejadian serta rekaman kamera pengawas (CCTV) di sekitar Jalan Pramuka, Rawasari.
“Korban sudah melapor, dan kami masih melakukan penyelidikan,” ujar salah satu pejabat kepolisian setempat yang enggan disebut namanya.
Kemenkes Ingatkan RS Wajib Layani Pasien Gawat Darurat
Menanggapi kejadian ini, Kemenkes menegaskan kembali bahwa penolakan pasien gawat darurat merupakan pelanggaran serius terhadap hak dasar kesehatan warga negara.
Menurut Aji Muhawarman, seluruh rumah sakit — baik negeri maupun swasta — memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menolong pasien yang membutuhkan perawatan segera.
“Kondisi gawat darurat tidak boleh ditolak dengan alasan administrasi. Kalau benar ada penolakan, tentu harus ditindak sesuai aturan,” tegas Aji.
Kemenkes berjanji akan melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk menelusuri kebenaran laporan tersebut, serta memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Solidaritas dan Respons Publik
Kabar tentang penolakan Repan sempat viral di media sosial dan menimbulkan keprihatinan luas. Banyak warganet menilai kejadian ini mencoreng semangat kemanusiaan dan pelayanan kesehatan universal yang selama ini digaungkan pemerintah.
Sejumlah aktivis kemanusiaan dan tokoh masyarakat juga mendesak Kemenkes memberikan sanksi tegas bagi rumah sakit yang melanggar kewajiban penanganan pasien darurat.
“Negara harus hadir, apapun latar belakang sosial atau identitas adatnya. Tidak punya KTP bukan alasan untuk menolak orang sekarat,” tulis salah satu aktivis kesehatan di platform X (Twitter).
Kini, Repan masih menjalani pemulihan dan menunggu perkembangan penyelidikan polisi. Sementara publik menantikan langkah konkret pemerintah dalam menegakkan aturan pelayanan kesehatan yang manusiawi tanpa diskriminasi administratif.











