SOALINDONESIA–JAKARTA Harga minyak mentah dunia kembali menguat pada akhir perdagangan Jumat waktu setempat (Sabtu pagi WIB). Meski begitu, penguatan ini tidak cukup menutupi pelemahan yang terjadi selama sepekan terakhir. Kekhawatiran pasar terhadap kelebihan pasokan global serta melemahnya permintaan energi di Amerika Serikat membuat harga minyak mencatatkan penurunan mingguan kedua secara berturut-turut.
Mengutip laporan CNBC, harga minyak Brent ditutup naik 25 sen atau 0,39% menjadi USD 63,63 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat 32 sen atau 0,54% ke level USD 59,75 per barel.
Namun, secara mingguan, kedua acuan utama tersebut masih terkoreksi sekitar 2%, menandakan tekanan jual masih kuat di tengah ekspektasi peningkatan produksi dari negara-negara penghasil minyak utama.
“Pasar tengah berusaha menimbang kembali antara meningkatnya surplus minyak global dan kondisi ekonomi makro yang masih penuh ketidakpastian,” ujar Analis SEB, Ole Hvalbye, dikutip Sabtu (8/11/2025).
Kelebihan Stok dan Permintaan AS yang Lesu Tekan Harga
Kenaikan persediaan minyak mentah Amerika Serikat menjadi sorotan utama pelaku pasar. Berdasarkan data Badan Informasi Energi (EIA), stok minyak mentah AS naik 5,2 juta barel dalam sepekan terakhir — jauh di atas perkiraan analis.
“Kenaikan persediaan yang tidak terduga ini memicu kekhawatiran baru tentang potensi kelebihan pasokan,” ujar Analis IG Markets, Tony Sycamore.
Sycamore menambahkan, faktor lain yang memperburuk sentimen adalah penguatan dolar AS, arus penghindaran risiko, serta penutupan sebagian pemerintahan AS yang memperlambat aktivitas ekonomi di negara konsumen minyak terbesar dunia itu.
Di sisi lain, penurunan tingkat operasional kilang minyak di AS memperlihatkan bahwa permintaan bahan bakar domestik belum sepenuhnya pulih, terutama setelah masa perawatan rutin kilang.
Kebijakan OPEC+ Jadi Fokus Pasar
Dari sisi produksi, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya atau OPEC+, dalam pertemuan akhir pekan lalu sepakat untuk menambah pasokan pada Desember, namun menunda rencana kenaikan produksi lebih lanjut hingga kuartal pertama 2026.
Langkah hati-hati itu diambil karena organisasi tersebut masih khawatir pasar akan kembali ke kondisi oversupply (kelebihan pasokan).
Sebagai eksportir utama dunia, Arab Saudi juga mengumumkan penurunan harga jual resmi (OSP) untuk pembeli Asia mulai Desember 2025. Keputusan ini menandakan bahwa pasar Asia saat ini sudah kelebihan pasokan, dan Saudi berupaya menjaga daya saing ekspornya di tengah peningkatan produksi global.
Sanksi Terhadap Rusia dan Iran Jadi Penahan Pelemahan
Meski pasar didera tekanan akibat surplus pasokan, beberapa faktor geopolitik memberikan sedikit dukungan terhadap harga. Sanksi baru dari Eropa dan Amerika Serikat terhadap Rusia dan Iran dinilai masih mengganggu jalur pasokan global, terutama ke China dan India yang merupakan dua importir terbesar dunia.
Data terbaru menunjukkan, impor minyak mentah China pada Oktober naik 2,3% dibanding bulan sebelumnya dan 8,2% dibanding tahun lalu, mencapai 48,36 juta ton. Kenaikan ini terjadi di tengah peningkatan kapasitas produksi di kilang-kilang besar China.
Namun, ketegangan politik tetap membayangi pasar. Perusahaan perdagangan energi asal Swiss, Gunvor, mengumumkan pembatalan rencananya membeli aset luar negeri milik perusahaan minyak Rusia, Lukoil, setelah Washington menilai transaksi tersebut berpotensi terkait kepentingan pemerintah Rusia.
“Keputusan Gunvor memperlihatkan bahwa tekanan ekonomi terhadap Rusia masih berlanjut, dan AS tampaknya siap memperketat sanksi terhadap perusahaan besar seperti Rosneft dan Lukoil,” jelas Vandana Hari, analis energi dari Vanda Insights.
Tiga Bulan Terakhir, Harga Minyak Global Cenderung Melemah
Data perdagangan menunjukkan bahwa harga minyak dunia sudah turun selama tiga bulan berturut-turut hingga Oktober lalu. Tekanan datang dari peningkatan produksi OPEC+ dan produsen non-OPEC yang terus menambah pasokan ke pasar.
“Pasar masih dibayangi kelebihan pasokan terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Ini menjadi penghambat utama kenaikan harga,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital.
Menurut perhitungan JPMorgan, pertumbuhan permintaan minyak global hingga awal November hanya mencapai 850.000 barel per hari, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 900.000 barel per hari.
Sementara Capital Economics memperkirakan harga minyak akan terus berada di bawah tekanan hingga akhir tahun.
“Kami memprediksi harga minyak bisa turun ke bawah USD 60 per barel pada akhir 2025, bahkan berpotensi menyentuh USD 50 per barel pada akhir 2026,” tulis lembaga riset tersebut dalam laporan mingguan.
Analis: Pemulihan Masih Tergantung Permintaan Global
Beberapa analis menilai, tren pelemahan harga saat ini bersifat korektif jangka menengah, dan masih bergantung pada pemulihan permintaan global, terutama dari sektor industri dan transportasi.
“Jika permintaan di Asia dan Eropa membaik, harga bisa stabil di kisaran USD 65–70 per barel. Namun bila ekonomi AS terus melambat, tekanan jual kemungkinan berlanjut,” tutur Jorge Montepeque dari Onyx Capital Group.
Kesimpulan:
Kenaikan tipis pada akhir pekan belum cukup menahan tren penurunan harga minyak dunia. Kombinasi antara stok minyak AS yang membengkak, kenaikan produksi OPEC+, dan melemahnya konsumsi energi global masih menjadi beban utama bagi pasar.
Namun, di tengah dinamika geopolitik dan sanksi terhadap Rusia serta Iran, harga minyak masih berpotensi bergerak fluktuatif dalam beberapa pekan ke depan.











