Menu

Mode Gelap

News · 3 Okt 2025 12:49 WITA

Ekonom UPN Jakarta: Pembekuan SPPG Tak Cukup, Sistem MBG Harus Dibenahi Menyeluruh


 Ekonom UPN Jakarta: Pembekuan SPPG Tak Cukup, Sistem MBG Harus Dibenahi Menyeluruh Perbesar

SOALINDONESIA–JAKARTA Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti kebijakan pembekuan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) oleh Kepala BGN yang menindak penyedia pangan siap saji (SPPG) yang melanggar SOP.

Menurutnya, meski langkah itu perlu diapresiasi — karena menyangkut keselamatan anak — namun langkah itu belum cukup untuk menghentikan rangkaian keracunan MBG (Makan Bergizi Gratis) yang telah berlangsung lebih dari dua bulan.

“Jawaban jujurnya, belum. Pembekuan itu ibarat menarik rem darurat ketika mobil menukik, tetapi tidak memperbaiki sistem rem, tidak menambal ban yang aus, dan tidak mengembalikan rasa aman penumpang. Kita tidak boleh lagi memadamkan api per kasus,” ujar Achmad dalam keterangannya.

Achmad menilai bahwa akar masalah keracunan MBG adalah kegagalan desain kebijakan, struktur pengawasan, kontrak besar, dan kelembagaan yang lemah, bukan hanya kesalahan individual penyedia.

Pola Konsisten: Volume & Harga Diutamakan, Bukan Keselamatan

Menurut Achmad, banyak penyedia SPPG yang dalam kontraknya terlalu ditekankan pada kuantitas porsi dan harga murah, sementara aspek keamanan pangan menjadi kompromi. Tiga faktor yang disebutnya rawan dikompromikan:

READ  Gus Hilmy Pertanyakan Logika Penegakan Hukum Kasus Judi Online di DIY: “Siapa Sebenarnya yang Dilindungi?”

1. Suhu dalam pengolahan dan pengiriman

2. Waktu simpan & rentang distribusi

3. Sanitasi & kebersihan dapur / peralatan

“Ketika penyedia dikejar banyaknya porsi dan rendahnya biaya, suhu, waktu simpan, dan sanitasi cenderung dikompromikan padahal di situlah benteng terakhir melawan kontaminasi,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa pola keracunan yang terjadi lintas wilayah jarang disebabkan murni kelalaian individu, tetapi lebih karena kegagalan sistem yang konsisten.

Struktur Pengawasan dan Pelacakan Lemah

Achmad juga mengkritik fragmentasi pengawasan antara berbagai lembaga — Dinas Pendidikan, Kesehatan, BPOM, pemda, sekolah — yang belum memiliki komando operasional tunggal dalam manajemen real time. Hal ini memperlambat respons ketika kasus keracunan muncul.

Ia menyoroti kelemahan dalam pelacakan batch makanan: butuh waktu berhari-hari untuk mengetahui asal bahan, waktu produksi, dan rute distribusi.

“Struktur pengawasan terfragmentasi … tidak ada satu komando operasional yang memegang keputusan cepat,” ujarnya.

READ  Kapolri Hadiri Kick Off GPM Serentak se-Indonesia, 2.424 Ton Beras SPHP Disalurkan ke Masyarakat

Ia juga mengingatkan bahwa rotasi juru masak / handler yang tinggi dan tanpa lisensi berkala membuat pengetahuan titik kritis (HACCP dan pengendalian pangan) tidak bertahan lama di dapur.

Perlunya Regulasi Kuat & Digitalisasi Operasional

Achmad menyebut pembekuan parsial bukanlah solusi akhir. Pernyataan itu harus diiringi dengan perubahan regulasi dan sistem:

Peraturan Presiden (Perpres) Tata Kelola MBG yang bersifat mandat, bukan imbauan

Ketentuan transisi tegas dalam sertifikasi dapur, alat minimum, pelacakan digital

Delegasi wewenang operasional pada entitas Otoritas MBG (atau nomenklatur setara) agar keputusan no-serve, recall, switch menu bisa diambil secara cepat

Alokasi anggaran khusus untuk keselamatan pangan dan digitalisasi (misalnya thermologger, dashboard kontrol, laboratorium, pelatihan lisensi)

“Perpres harus memuat ketentuan transisi yang tegas … agar keputusan no-serve, recall, dan switch menu berbasis risiko bisa diambil dalam jam, bukan pekan,” ujar Achmad.

Ia juga mendorong agar pengadaan alat pelacakan digital di SPPG (batch tracking) menjadi wajib, bukan opsional.

READ  Gempa Magnitudo 4,9 Guncang Bekasi Malam Ini, Getaran Terasa di Jabodetabek

Konteks Kebijakan: Langkah Pembekuan & Evaluasi SPPG oleh BGN

Langkah BGN membekukan SPPG pelanggar SOP telah dilakukan sebelumnya sebagai tindakan sementara. Misalnya:

Penonaktifan 56 SPPG yang terbukti keracunan berulang.

SPPG yang mengalami kasus keracunan wajib dihentikan operasionalnya minimal 14 hari untuk evaluasi dan perbaikan.

BGN telah menyebut bahwa keracunan MBG disebabkan oleh ketidakpatuhan SPPG terhadap SOP, termasuk waktu pengolahan dan distribusi yang melanggar batas ideal.

BGN juga menetapkan syarat baru bagi penyedia SPPG, termasuk keharusan menyediakan juru masak bersertifikasi.

Bila ditemukan unsur pidana, pemilik dapur dan SPPG dapat diproses hukum.

Penutup: Bukan Sekadar Penertiban Kasus, Tapi Reformasi Sistem MBG

Pendapat dari Achmad Nur Hidayat ini menegaskan bahwa krisis keracunan MBG bukan hanya persoalan teknis operasi penyedia, melainkan kegagalan keseluruhan sistem desain, regulasi, dan pengawasan. Tindakan pembekuan dan penonaktifan SPPG penting sebagai sinyal tegas, tetapi tidak cukup untuk mencegah tragedi berulang jika tidak diikuti dengan perbaikan struktural dan kelembagaan.

Artikel ini telah dibaca 12 kali

Baca Lainnya

Hari ke-6 Evakuasi Musala Ambruk di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo: 20 Korban Tewas, 15 Belum Teridentifikasi

5 Oktober 2025 - 02:09 WITA

Paparan Radioaktif Cesium-137 di Cikande: Pemerintah Perketat Akses & Angkut Material Berbahaya

5 Oktober 2025 - 01:57 WITA

Komdigi Bekukan Sementara TDPSE TikTok, DPR Dorong Regulasi Khusus Media Sosial

5 Oktober 2025 - 01:46 WITA

Stok BBM SPBU Swasta Terancam Habis Akhir Tahun, Pemerintah Dorong Pembelian dari Pertamina

5 Oktober 2025 - 00:49 WITA

TNI Siapkan 200 Motor dan Doorprize Lainnya di HUT ke-80 di Monas, Gratis untuk Masyarakat

5 Oktober 2025 - 00:07 WITA

Mantan Dirut Asabri Adam Damiri Ajukan PK ke MA, Klaim Ada Bukti Baru

4 Oktober 2025 - 21:31 WITA

Trending di News