SOALINDONESIA–JAKARTA Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti kebijakan pembekuan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) oleh Kepala BGN yang menindak penyedia pangan siap saji (SPPG) yang melanggar SOP.
Menurutnya, meski langkah itu perlu diapresiasi — karena menyangkut keselamatan anak — namun langkah itu belum cukup untuk menghentikan rangkaian keracunan MBG (Makan Bergizi Gratis) yang telah berlangsung lebih dari dua bulan.
“Jawaban jujurnya, belum. Pembekuan itu ibarat menarik rem darurat ketika mobil menukik, tetapi tidak memperbaiki sistem rem, tidak menambal ban yang aus, dan tidak mengembalikan rasa aman penumpang. Kita tidak boleh lagi memadamkan api per kasus,” ujar Achmad dalam keterangannya.
Achmad menilai bahwa akar masalah keracunan MBG adalah kegagalan desain kebijakan, struktur pengawasan, kontrak besar, dan kelembagaan yang lemah, bukan hanya kesalahan individual penyedia.
Pola Konsisten: Volume & Harga Diutamakan, Bukan Keselamatan
Menurut Achmad, banyak penyedia SPPG yang dalam kontraknya terlalu ditekankan pada kuantitas porsi dan harga murah, sementara aspek keamanan pangan menjadi kompromi. Tiga faktor yang disebutnya rawan dikompromikan:
1. Suhu dalam pengolahan dan pengiriman
2. Waktu simpan & rentang distribusi
3. Sanitasi & kebersihan dapur / peralatan
“Ketika penyedia dikejar banyaknya porsi dan rendahnya biaya, suhu, waktu simpan, dan sanitasi cenderung dikompromikan padahal di situlah benteng terakhir melawan kontaminasi,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa pola keracunan yang terjadi lintas wilayah jarang disebabkan murni kelalaian individu, tetapi lebih karena kegagalan sistem yang konsisten.
Struktur Pengawasan dan Pelacakan Lemah
Achmad juga mengkritik fragmentasi pengawasan antara berbagai lembaga — Dinas Pendidikan, Kesehatan, BPOM, pemda, sekolah — yang belum memiliki komando operasional tunggal dalam manajemen real time. Hal ini memperlambat respons ketika kasus keracunan muncul.
Ia menyoroti kelemahan dalam pelacakan batch makanan: butuh waktu berhari-hari untuk mengetahui asal bahan, waktu produksi, dan rute distribusi.
“Struktur pengawasan terfragmentasi … tidak ada satu komando operasional yang memegang keputusan cepat,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa rotasi juru masak / handler yang tinggi dan tanpa lisensi berkala membuat pengetahuan titik kritis (HACCP dan pengendalian pangan) tidak bertahan lama di dapur.
Perlunya Regulasi Kuat & Digitalisasi Operasional
Achmad menyebut pembekuan parsial bukanlah solusi akhir. Pernyataan itu harus diiringi dengan perubahan regulasi dan sistem:
Peraturan Presiden (Perpres) Tata Kelola MBG yang bersifat mandat, bukan imbauan
Ketentuan transisi tegas dalam sertifikasi dapur, alat minimum, pelacakan digital
Delegasi wewenang operasional pada entitas Otoritas MBG (atau nomenklatur setara) agar keputusan no-serve, recall, switch menu bisa diambil secara cepat
Alokasi anggaran khusus untuk keselamatan pangan dan digitalisasi (misalnya thermologger, dashboard kontrol, laboratorium, pelatihan lisensi)
“Perpres harus memuat ketentuan transisi yang tegas … agar keputusan no-serve, recall, dan switch menu berbasis risiko bisa diambil dalam jam, bukan pekan,” ujar Achmad.
Ia juga mendorong agar pengadaan alat pelacakan digital di SPPG (batch tracking) menjadi wajib, bukan opsional.
Konteks Kebijakan: Langkah Pembekuan & Evaluasi SPPG oleh BGN
Langkah BGN membekukan SPPG pelanggar SOP telah dilakukan sebelumnya sebagai tindakan sementara. Misalnya:
Penonaktifan 56 SPPG yang terbukti keracunan berulang.
SPPG yang mengalami kasus keracunan wajib dihentikan operasionalnya minimal 14 hari untuk evaluasi dan perbaikan.
BGN telah menyebut bahwa keracunan MBG disebabkan oleh ketidakpatuhan SPPG terhadap SOP, termasuk waktu pengolahan dan distribusi yang melanggar batas ideal.
BGN juga menetapkan syarat baru bagi penyedia SPPG, termasuk keharusan menyediakan juru masak bersertifikasi.
Bila ditemukan unsur pidana, pemilik dapur dan SPPG dapat diproses hukum.
Penutup: Bukan Sekadar Penertiban Kasus, Tapi Reformasi Sistem MBG
Pendapat dari Achmad Nur Hidayat ini menegaskan bahwa krisis keracunan MBG bukan hanya persoalan teknis operasi penyedia, melainkan kegagalan keseluruhan sistem desain, regulasi, dan pengawasan. Tindakan pembekuan dan penonaktifan SPPG penting sebagai sinyal tegas, tetapi tidak cukup untuk mencegah tragedi berulang jika tidak diikuti dengan perbaikan struktural dan kelembagaan.