SOALINDONESIA–JAKARTA Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta sebagai solusi untuk memperkuat pendidikan inklusif, moderasi beragama, dan perlindungan hak-hak minoritas di Asia.
Gagasan ini disampaikan saat ia menjadi keynote speaker dalam Inter Religious Conference on Freedom of Religion and Rights of Religious Minorities in Asia yang digelar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bersama Christian Conference of Asia (CCA) di Auditorium Graha Oikoumene, Jakarta, Rabu (17/9).
Menag menyampaikan apresiasi atas inisiatif PGI dan CCA dalam menyelenggarakan forum lintas iman tersebut.
“Saya ingin mengucapkan penghargaan kepada PGI dan CCA yang menginisiasi dan menyediakan pertemuan penting ini. Dedikasi Anda untuk dialog, keamanan, dan keadilan merupakan sumber inspirasi, bukan hanya untuk Asia tetapi juga untuk seluruh dunia,” ujar Nasaruddin.
Menurutnya, Indonesia kerap dipandang sebagai negara demokrasi dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Namun, lebih dari itu, Indonesia memiliki keragaman luar biasa dengan lebih dari 17.000 pulau, 1.300 kelompok etnis, dan enam agama yang diakui negara.
“Diversitas ini adalah keberuntungan sekaligus tantangan terbesar kita. Kesatuan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus ditumbuhkan melalui fondasi moral yang lebih dalam daripada politik atau ekonomi. Fondasi itu adalah budaya cinta,” tegasnya.
Implementasi di Masjid Istiqlal
Menag mencontohkan praktik Kurikulum Berbasis Cinta yang sudah diwujudkan di Masjid Istiqlal, salah satunya pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Istiqlal dengan Gereja Katedral Jakarta.
“Bagi saya, Masjid Istiqlal bukan hanya untuk komunitas Muslim, tapi pusat kemanusiaan. Kurikulum ini lebih dari sekadar bangunan fisik, tapi metafora hidup tentang apa yang Indonesia inginkan: kepercayaan tidak saling berlawanan, melainkan bekerja sama; komunitas tidak terpisah, melainkan saling terhubung,” jelasnya.
Jawaban atas Tantangan Asia
Dalam pidatonya, Menag juga menyoroti tantangan kebebasan beragama yang masih dihadapi masyarakat Asia. Ia menekankan bahwa intoleransi, diskriminasi, dan ketidakadilan masih menyisakan persoalan serius, terutama bagi kelompok minoritas.
Melalui Kurikulum Berbasis Cinta, kata Menag, generasi muda akan dididik untuk melihat kemanusiaan dalam diri orang lain, menolak potensi kekerasan, dan tumbuh menjadi warga yang melindungi hak semua orang, termasuk kelompok rentan.
“Melindungi kebebasan beragama bukan hanya kewajiban konstitusional, tetapi juga tugas spiritual. Setiap tindakan toleransi, setiap penghormatan atas hak asasi manusia, adalah refleksi kasih sayang kita kepada Tuhan,” ujarnya.
Kontribusi Indonesia untuk Dunia
Ia berharap pengalaman Indonesia dalam menjaga keragaman dapat menjadi kontribusi penting bagi dunia, sekaligus inspirasi bagi negara-negara lain di Asia.
“Biarkan semangat kasih sayang membimbing kita semua. Biarkan semangat itu membentuk kita dalam melindungi keadilan dan kemanusiaan. Mari jadikan perjumpaan ini sebagai penunjuk harapan untuk dunia,” pungkas Menag.
Konferensi ini turut dihadiri Sekretaris Jenderal CCA Mathews George Chunakara, Ketua Umum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty, para kontingen dari sejumlah negara Asia, serta Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen Jeane Marie Tulung.