SOALINDONESIA–JAKARTA Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi kekhawatiran sejumlah pihak terkait potensi krisis ekonomi di China. Ia menilai bahwa meskipun ada tanda-tanda perlambatan, perekonomian Negeri Tirai Bambu masih memiliki fundamental kuat dan instrumen kebijakan yang efektif untuk menjaga stabilitas serta mendorong pertumbuhan.
“Saya termasuk yang nggak percaya kalau China jatuh dalam waktu dekat. Bahkan kemarin saat gonjang-ganjing, mereka injek uang ke perekonomian ratusan miliar dolar, jadi keliatannya mereka masih akan bagus,” ujar Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
China Dinilai Pandai Mengelola Krisis
Menurut Purbaya, sistem ekonomi China yang dikendalikan oleh pemerintah—terutama dalam pengelolaan devisa dan suku bunga—memberi fleksibilitas tinggi bagi mereka untuk memberikan stimulus fiskal maupun moneter saat dibutuhkan.
“China itu dikhawatirkan akan hancur, tapi mereka negara komunis, devisa di tangan mereka, bunga juga di tangan pemerintah. Jadi gampang saja kalau mau kasih stimulus ke perekonomian, dan selama ini indikasinya jelas mereka cukup pandai,” ujarnya menegaskan.
Purbaya menyebut langkah pemerintah China yang menyuntikkan dana besar ke sektor riil sebagai bukti kecerdasan dalam menjaga kestabilan perekonomian nasional di tengah tekanan eksternal. Ia menilai kebijakan tersebut mampu menahan potensi perlambatan yang lebih parah dan menjaga daya beli masyarakat.
Pertumbuhan Ekonomi Dunia Masih Positif
Selain membahas China, Menkeu Purbaya juga memberikan pandangan optimistis terhadap kondisi ekonomi global. Ia menyebut bahwa situasi perekonomian dunia pada 2025 tidak seburuk yang banyak dikhawatirkan.
“Ini global ternyata nggak sejelek yang diperkirakan banyak orang. World Bank prediksinya 2025 masih tumbuh 2,3 persen, tahun depan akan lebih baik 2,4 persen, dan keliatannya likuiditas di pasar global juga lebih longgar,” jelasnya.
Optimisme ini, kata Purbaya, didorong oleh mulai pulihnya kepercayaan pasar, perbaikan rantai pasok global, serta potensi penurunan suku bunga di beberapa negara besar. Hal ini diharapkan dapat mendorong arus investasi dan konsumsi dunia ke arah yang lebih stabil.
Likuiditas Global Menguat, AS Masih Punya Ruang Kebijakan
Lebih lanjut, Purbaya menyoroti bahwa likuiditas di pasar global kini cenderung lebih longgar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini membuka peluang bagi sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS), untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter.
“Kalau saya lihat, di AS sendiri pada waktu katanya mau hancur-hancur, bunganya tinggi di sana, tapi ruang bagi mereka untuk mendorong perekonomian masih terbuka lebar. Tinggal mereka turunkan bunga, ekonominya pasti rebound,” ungkapnya.
Menurutnya, ekonomi AS masih memiliki potensi pertumbuhan di kisaran 2–3 persen. Jika tumbuh di atas angka tersebut, ekonomi justru bisa mengalami “overheating” atau kepanasan, sehingga ruang untuk mengatur laju pertumbuhan masih cukup luas.
“Jadi kalau mereka bukan tumbuh 6 persen tapi 2–3 persen saja, itu sudah bagus. Di atas itu malah kepanasan. Jadi menurut saya, ruang kebijakan mereka masih besar,” tambahnya.
Indonesia Tetap Waspada, Namun Optimis
Meskipun optimistis terhadap kondisi global, Purbaya menegaskan bahwa Indonesia tetap harus berhati-hati dalam menghadapi dinamika ekonomi dunia, termasuk perlambatan di China maupun kebijakan suku bunga di AS. Namun ia meyakini, dengan kebijakan fiskal dan moneter yang solid, Indonesia akan tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
“Selama kebijakan kita konsisten dan disiplin menjaga keseimbangan fiskal, Indonesia bisa tetap aman. Kita punya cadangan devisa kuat dan fundamental ekonomi yang sehat,” tutupnya.











