SOALINDONESIA–JAKARTA Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo, menyoroti Pasal 47 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dinilainya berpotensi membuka celah Panglima TNI ikut campur dalam penentuan jabatan sipil yang diduduki prajurit, meski sudah tidak aktif.
Sorotan ini disampaikan Suhartoyo dalam sidang lanjutan perkara pengujian konstitusionalitas UU TNI dengan nomor 68, 82, dan 92/PUU-XXII/2025, yang digelar pada Kamis, 9 Oktober 2025, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Pasal Dipersoalkan Terkait Supremasi Sipil
Perkara ini diajukan oleh sejumlah pemohon yang mempersoalkan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI, yang mengatur jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit setelah pensiun atau mengundurkan diri. Pemohon menilai pasal tersebut multitafsir dan berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia.
Dalam sidang, Suhartoyo menyoroti adanya kontradiksi antara ayat 1, 2, dan 3 dengan Pasal 5 dalam UU tersebut. Secara spesifik, ia mempertanyakan bagaimana mungkin Panglima TNI masih melakukan pembinaan karier terhadap prajurit yang sudah tidak aktif.
“Bagaimana Panglima masih cawe-cawe, kalau syarat untuk menduduki jabatan tertentu adalah harus mengundurkan diri atau tidak aktif lagi? Ini ada semacam contradictio in terminis di antara beberapa ayat ini kalau kita runut dari ayat (1) sampai ayat (5),” kata Suhartoyo dalam persidangan.
“Di satu sisi syarat harus mundur, tapi di sisi lain pembinaan dan karier masih ditangani oleh Panglima. Ini yang menimbulkan kekhawatiran publik soal apakah supremasi sipil benar-benar dijaga,” sambungnya.
DPR Menilai Kekhawatiran Berlebihan
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, yang hadir mewakili DPR dalam sidang tersebut, menjelaskan bahwa anggota TNI yang menjabat di luar 14 kementerian/lembaga memang harus mundur dan tidak bisa lagi kembali ke institusi TNI.
Namun, menurut Utut, dalam konteks jabatan sipil yang berada dalam kerangka penugasan TNI aktif, Panglima masih memiliki wewenang menilai, karena status keaktifan tetap berlaku dalam struktur militer.
“Memang kenaikan pangkat dan penilaian awal berasal dari Panglima karena dia masih aktif, tetapi jika penilaiannya berasal dari menteri/lembaga tempat dia bertugas, maka unsur sipil tetap dominan,” jelas Utut.
“Kekhawatiran bahwa supremasi sipil dilemahkan saya rasa terlalu berlebihan. Dalam praktiknya, jabatan sipil yang bisa diduduki sudah sangat dibatasi dan tunduk pada regulasi ketat,” lanjutnya.
Sidang Dilanjutkan: Pihak TNI Akan Hadir
Setelah mendengar penjelasan dari DPR dan Pemerintah — yang diwakili oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward OS Hiariej — MK menjadwalkan lanjutan sidang pada Kamis, 23 Oktober 2025, pukul 10.30 WIB.
Agenda sidang berikutnya adalah mendengarkan keterangan dari pihak Terkait, termasuk dari TNI, Panglima TNI, dan ahli yang diajukan oleh Pemohon Perkara Nomor 68.
Latar Belakang Pasal 47 dan Kekhawatiran Publik
Pasal 47 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki oleh prajurit yang pensiun atau telah mengundurkan diri, namun masih mengandung klausul yang memberi ruang pada pembinaan karier oleh institusi militer. Hal ini memicu kekhawatiran publik terkait netralitas TNI dan potensi campur tangan militer dalam urusan sipil.
Pasal 5 dari UU yang sama, yang menyebut bahwa pembinaan karier dilakukan oleh Panglima, dinilai bertentangan dengan semangat pasal 47 dan berpotensi membuka celah inkonsistensi hukum.
Pentingnya Pengujian Konstitusionalitas
Perkara ini menjadi sorotan publik dan akademisi karena menyangkut isu fundamental dalam demokrasi, yaitu supremasi sipil atas militer. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberi tafsir konstitusional yang jelas terhadap pasal-pasal tersebut agar tidak disalahgunakan di masa depan.











