SOALINDONESIA–JAKARTA Pemerintah tengah menyiapkan langkah konkret untuk mengembalikan produktivitas kakao nasional yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Melalui Kementerian Pertanian (Kementan), program peremajaan tanaman kakao (replanting) akan digulirkan secara besar-besaran dengan pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dukungan tambahan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Ketua Tim Kerja Perkebunan dan Tanaman Semusim Lainnya Kementan, Yakub Ginting, menjelaskan bahwa program ini merupakan bagian dari upaya peningkatan produksi dan produktivitas nasional yang menjadi prioritas pemerintah.
“Kami di Kementerian Pertanian merespons penurunan produksi ini dengan program peningkatan produksi dan produktivitas. Saat ini, bagian pengembangan peremajaan maupun perluasan dilakukan dalam dua bagian,” ujar Yakub dalam sesi talkshow Peringatan Hari Kakao Nasional 2025 di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025).
Replanting Dimulai Tahun Ini
Dari anggaran reguler, Kementan telah menyiapkan dana untuk peremajaan 3.800 hektare dan perluasan 650 hektare, dengan total 4.450 hektare yang akan direalisasikan tahun ini.
Sementara dari Anggaran Biaya Tambahan (ABT), pemerintah menambah pendanaan untuk peremajaan 4.266 hektare khusus tahun 2025. Program ini akan berlanjut dengan fokus pada hilirisasi kakao nasional, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat nilai tambah sektor perkebunan.
“Untuk hilirisasinya, pengembangan kakao tahun 2025 sudah diluncurkan dengan target 4.266 hektare,” kata Yakub.
Pada tahun 2026, pemerintah menargetkan replanting seluas 175.500 hektare, disusul 68.734 hektare pada 2027. Jika dibandingkan dengan total 290 ribu hektare tanaman kakao rusak, maka program ini akan menutup sekitar 248.500 hektare area hingga 2027.
Pendanaan dari APBN dan BPDP
Yakub menambahkan, Kementan juga tengah menyiapkan skema pembiayaan tambahan dari BPDP untuk mempercepat pelaksanaan program replanting kakao.
“Kami sedang menyusun aturan turunannya bersama Kementerian Hukum dan HAM. Kemarin Menkum sudah menyatakan setuju dengan draft yang kami ajukan. Mudah-mudahan dalam waktu singkat sudah bisa keluar peraturannya,” jelasnya.
Dengan dua sumber pembiayaan ini — APBN dan BPDP — pemerintah menargetkan seluruh area tanaman kakao rusak dapat diremajakan sepenuhnya hingga 2027.
Kesiapan Daerah Jadi Kunci
Meski demikian, Yakub mengingatkan pentingnya kesiapan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program ini. Ia menyebut masih banyak Calon Bentuk Calon Lokasi (CBCL) yang tidak memenuhi standar teknis, seperti koordinat yang tidak sesuai, data Simluhtan yang belum tercatat, hingga dokumen pendukung yang belum lengkap.
“Kami menerima banyak CBCL kakao yang tidak sesuai aturan, sehingga menyulitkan kami untuk menetapkannya di tingkat pusat,” ungkapnya.
Masih dalam Tahap Perencanaan
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Usaha Pangan dan Pertanian Kemenko Pangan RI, Widiastuti, menjelaskan bahwa program replanting kakao masih berada dalam tahap perencanaan. Pemerintah saat ini tengah fokus menuntaskan proyek strategis nasional lainnya yang diatur melalui Inpres Nomor 14 dan 16 Tahun 2025 serta Keppres Nomor 19 Tahun 2025, terkait ketahanan pangan, energi, dan air.
“Tahun ini kami sedang merapikan pelaksanaan program di Papua Selatan, Sulawesi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Replanting kakao akan masuk setelah tahapan tersebut selesai,” tutur Widiastuti.
Dorong Produktivitas dan Hilirisasi
Melalui program replanting dan hilirisasi kakao nasional, pemerintah berharap produktivitas perkebunan kakao dapat kembali meningkat, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia.
Targetnya, seluruh 290 ribu hektare kebun kakao rusak dapat diremajakan secara penuh pada tahun 2027, dengan dukungan pembiayaan berkelanjutan dari APBN dan BPDP.
“Kalau semua berjalan sesuai rencana, 2027 kita bisa lihat kebangkitan kakao Indonesia, baik di hulu maupun hilir,” pungkas Yakub.











