SOALINDONESIA–JAKARTA Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) Max Jefferson Mokola mengungkapkan bahwa tidak ditemukan bukti adanya perjanjian endorsement atau kerja sama iklan terkait 88 tas mewah milik artis Sandra Dewi yang disita dalam kasus korupsi timah. Sandra merupakan istri dari terpidana kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah, Harvey Moeis.
Pernyataan tersebut disampaikan Max sebagai tanggapan atas keterangan Sandra Dewi di persidangan, yang menyebut hampir semua barang hasil iklan atau promosi selalu disertai perjanjian resmi.
“Khusus yang disita ini, itu nggak ada perjanjiannya,” kata Max Jefferson Mokola, dikutip dari Antara, Selasa (28/10/2025).
Kejagung juga menegaskan bahwa tidak ditemukan dokumen perjanjian endorsement maupun bukti pembelian resmi atas sejumlah perhiasan yang turut disita dari Sandra Dewi.
“Jadi klaim bahwa tas dan perhiasan tersebut hasil dari kegiatan promosi atau endorsement itu anomali. Saat disita, kami tidak menemukan satu pun dokumen yang mendukung klaim tersebut,” ujar Max.
Tak Ada Bukti Kuat Tas Disita Hasil Endorsement
Dari hasil pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait, penyidik menemukan bahwa beberapa orang yang disebut sebagai pemberi endorsement justru merupakan pihak ketiga yang mengambil barang dari reseller atau membeli produk dari tempat lain untuk kemudian dijual kembali.
“Ketika orang ini bilang mau endorse, lalu di-post di Instagram Bu Sandra, kemudian barangnya menjadi milik Bu Sandra, dia akan rugi. Karena dia sudah membayar ke reseller tanpa ada kompensasi balik. Jadi secara logika bisnis, itu tidak masuk akal,” jelas Max.
Selain itu, dalam pemeriksaan juga ditemukan sejumlah pihak yang disebut sebagai pemberi endorsement tidak dapat memberikan bukti, bahkan ada yang tidak hadir saat dipanggil penyidik.
“Nah, ini lah yang akhirnya membuat penyidik begitu. Terus ada juga bukti transfer dari rekening Ratih, rekening Harvey Moeis ke Sandra Dewi, dan uang itu dipakai untuk membeli tas,” ungkapnya.
Sandra Dewi Ajukan Keberatan atas Penyitaan
Max hadir sebagai saksi dalam sidang pengajuan keberatan yang diajukan Sandra Dewi terhadap penyitaan sejumlah asetnya oleh Kejagung. Sidang tersebut terkait dengan kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022.
Sandra Dewi tercatat sebagai pemohon dalam perkara Nomor 7/PID.SUS/KEBERATAN/TPK/2025/PN.Jkt.Pst, bersama Kartika Dewi dan Raymon Gunawan. Sementara itu, pihak termohon adalah jaksa penuntut umum Kejagung.
Aset yang diajukan keberatan oleh Sandra antara lain:
Sejumlah perhiasan;
Dua unit kondominium di Gading Serpong, Tangerang, Banten;
Rumah di Pakubuwono, Kebayoran Baru, Jakarta;
Rumah di Permata Regency, Jakarta;
Rekening bank yang diblokir; serta
Puluhan tas mewah berbagai merek.
Dalam pengajuan keberatannya, Sandra beralasan bahwa dirinya merupakan pihak ketiga yang beriktikad baik, dan seluruh aset tersebut diperoleh secara sah melalui hasil kerja, hadiah, atau kontrak iklan. Ia juga menegaskan bahwa antara dirinya dan Harvey Moeis telah ada perjanjian pisah harta sebelum menikah.
MA Tolak Kasasi Harvey Moeis
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Harvey Moeis. Dengan demikian, vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap berlaku.
Selain hukuman penjara, Harvey diwajibkan membayar denda Rp1 miliar subsider delapan bulan kurungan, serta uang pengganti Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara.
Harvey Moeis dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah Tbk periode 2015–2022, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun.
Ia juga terbukti menerima uang ratusan miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil kejahatan tersebut.
Dengan putusan itu, Harvey Moeis dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.











