SOALINDONESIA–JAKARTA Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Eddy Hartono, menyatakan bahwa pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara diduga kuat meniru aksi ekstrem yang pernah dia akses dari grup True Crime Community (TCC).
“Jadi dia bisa meniru ide perilaku apa yang terjadi, sehingga dia meniru supaya bisa dibilang hebat ya, supaya ada kebanggaan. Nah itu dari segi psikologis,” kata Eddy dalam keterangannya, Rabu (19/11/2025).
BNPT menduga paparan konten ekstrem secara terus-menerus membuat pelaku bertindak tanpa mempertimbangkan risiko, hanya untuk mendapatkan rasa bangga atau pengakuan.
Analisis Psikologis dan Rehabilitasi
Untuk menangani kasus ini, BNPT menggandeng Kementerian PPPA, KPAI, Kemensos, serta ahli psikologi untuk menganalisis kondisi psikologis para pelajar yang terpapar konten ekstrem.
“Nah itulah yang kami sekarang dengan Kementerian PPA, dengan KPAI, kemudian Kemensos, melibatkan ahli-ahli psikologis untuk tadi itu, memetakan. Sehingga ketika diketahui secara psikologis apa yang terjadi, baru kita melakukan rehabilitasi,” ucap Eddy.
Hasil pemetaan ini nantinya akan menentukan metode rehabilitasi paling tepat bagi anak berhadapan hukum (ABH) yang terpapar ide radikal.
“Kira-kira rehab apa yang pas ketika orang atau anak-anak ini mengalami tekanan secara psikologis. Nah itu yang sekarang kita kembangkan,” jelasnya.
Pergeseran Tren Perekrutan Terorisme
Eddy Hartono juga menyoroti pergeseran pola perekrutan terorisme. Saat ini, perekrutan lebih banyak dilakukan secara online, bukan lagi melalui jalur ideologis klasik.
Dalam kajian psikologis modern, tren ini disebut memetic radicalization atau memetic violence, yakni proses di mana seseorang meniru ide atau perilaku ekstrem dari konten daring.
“Bahwa rekrutmen secara online ini memang sedang tren ya. Bahwa di dalam kajian psikologis itu ada istilahnya namanya memetic radicalization atau memetic violence ya. Jadi dia lebih kepada meniru ide atau perilaku,” ujar Eddy.
BNPT menegaskan bahwa tren baru ini memerlukan pendekatan rehabilitasi khusus karena berbeda dengan cara radikalisasi tradisional yang bersifat ideologis langsung.











