SOALINDONESIA–JAKARTA Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) resmi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh empat mahasiswa pada 24 Oktober 2025. Para pemohon meminta agar rakyat diberikan kewenangan untuk memecat anggota DPR melalui mekanisme constituent recall.
Gugatan tersebut telah teregister di MK dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025 pada Senin (27/10). Adapun pemohon terdiri dari Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Muhammad Adnan.
Mereka mempersoalkan Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3, yang mengatur alasan anggota DPR berhenti antarwaktu, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Dominasi Partai Politik Jadi Sorotan
Dalam pokok permohonan yang disampaikan, para pemohon menilai ketentuan tersebut inkonstitusional bersyarat karena kekuasaan pemberhentian antarwaktu (PAW) hanya berada di tangan partai politik. Menurut mereka, kondisi ini mengabaikan kedaulatan rakyat yang semestinya dapat mengontrol wakilnya secara langsung.
“Pemohon sebagai pemegang kedaulatan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk berperan langsung dalam mekanisme pemberhentian tersebut,” demikian permohonan mereka yang dikutip Rabu (19/11). Mereka mengklaim kehilangan legitimasi untuk memastikan akuntabilitas anggota DPR yang dipilih melalui pemilu.
Para pemohon menyebut dominasi partai politik dalam recall menciptakan ketimpangan relasi antara rakyat dan wakilnya. Hal ini dianggap dapat mengurangi ruang bagi masyarakat untuk menegakkan hukum dan memastikan jalannya pemerintahan berjalan secara akuntabel.
Minta MK Tegaskan Hak Rakyat untuk Recall
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menetapkan bahwa Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa penggantian antarwaktu dapat dilakukan oleh konstituen di daerah pemilihan. Mereka juga mengusulkan mekanisme constituent recall dengan merujuk pada praktik yang diterapkan di Taiwan.
Petitum tersebut berbunyi antara lain:
“Menyatakan Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa anggota DPR dapat diberhentikan oleh konstituen di daerah pemilihannya.”
Argumen Konstitusional: Defisit Demokrasi dan Kebuntuan Kontrol Politik
Para pemohon mendalilkan bahwa tidak adanya mekanisme recall oleh rakyat melanggar sejumlah pasal dalam UUD 1945, seperti:
Pasal 27 ayat (1): kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Pasal 28C ayat (2): hak untuk memajukan diri secara kolektif;
Pasal 28D ayat (1): hak atas kepastian hukum yang adil.
Ketiadaan wewenang rakyat untuk memberhentikan wakilnya dinilai menciptakan “defisit demokrasi” serta “kebuntuan kontrol politik” (political blockage). Situasi ini, menurut mereka, kerap memicu kekacauan publik dan demonstrasi, karena saluran akuntabilitas formal tidak tersedia.
Para pemohon juga menegaskan bahwa kursi DPR secara substansial merupakan mandat rakyat di daerah pemilihan, bukan milik partai politik. Karena itu, mekanisme pemberhentian seharusnya mencerminkan sumber legitimasi tersebut.
Mereka menilai kewenangan penuh partai dalam party recall lebih cocok dengan sistem parlementer. Sementara Indonesia yang menganut sistem presidensial, menurut mereka, semestinya menyediakan mekanisme recall langsung oleh konstituen.











