SOALINDONESIA–JAKARTA Aktivis 98, Faizal Assegaf, mengusulkan agar institusi Polri ditempatkan di bawah kementerian keamanan. Usulan tersebut ia sampaikan bersama sejumlah purnawirawan dan aktivis kepada Komisi Percepatan Reformasi Polri dalam diskusi di STIK-PTIK, Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).
Faizal mengungkapkan bahwa usulan tersebut sudah disampaikan secara tertulis, termasuk sejumlah pokok pemikiran lain yang saat ini sedang ditampung oleh tim reformasi Polri.
“Saya secara pribadi, atas nama Faizal Assegaf, dipercaya jadi jubir di sini mewakili aspirasi kawan-kawan. Mengusulkan secara konkret ke tim reformasi Polri bahwa sudah saatnya Polri dipimpin di bawah kementerian keamanan,” ujar Faizal.
Ia menjelaskan bahwa keberadaan kementerian keamanan diyakini akan membuat tata kelola Polri lebih modern, baik dari sisi operasional, anggaran, maupun sistem desentralisasi dan dekonsentrasi.
Menurutnya, sejumlah negara telah menerapkan model serupa sebagai bagian dari transisi menuju tata kelola keamanan yang lebih transparan dan akuntabel.
“Kehadiran kementerian keamanan dipandang sangat perlu untuk memperkuat transisi negara modern. Itu berlaku hampir di beberapa negara,” katanya.
Minta Ruang Dialog Dibuka Lebih Luas
Dalam forum tersebut, Faizal juga meminta tim reformasi Polri membuka ruang dialog seluas-luasnya bagi kelompok masyarakat yang selama ini aktif menyuarakan kritik. Salah satu pihak yang ia sebut secara khusus ialah Satgas Anti Tambang Ilegal, karena memiliki banyak temuan lapangan yang penting untuk evaluasi kelembagaan.
“Karena banyak temuan-temuan yang didapati oleh Satgas Anti Tambang Ilegal,” kata Faizal.
Ia menegaskan kelompoknya akan terus memberikan dukungan moral bagi tim reformasi agar dapat bekerja lebih fokus dan substantif.
“Tapi masuk dalam pendekatan substansi yang konstruktif,” tambahnya.
Dorong Mediasi Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Dalam kesempatan yang sama, Faizal juga menyoroti sejumlah kasus hukum yang dinilai tidak produktif, termasuk polemik tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo. Ia mendorong agar Komisi Percepatan Reformasi Polri menawarkan opsi mediasi alih-alih penegakan hukum yang berlarut-larut.
Diskusi tersebut turut dihadiri Roy Suryo, Refly Harun, Edi Mulyadi, Tifauziah, dan Rismon Sianipar. Namun, Roy, Rismon, dan Tifauziah tidak diperkenankan ikut berdiskusi sehingga memilih meninggalkan ruangan.
Kendati demikian, Faizal tetap menyampaikan gagasannya kepada tim reformasi.
“Kami bersepakat dengan tim Percepatan Reformasi Polri untuk mencari solusi terbaik, baik melalui jalur hukum maupun dialog, untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa di isu ijazah palsu,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa opsi mediasi tersebut masih dalam tahap pembahasan internal tim reformasi dan belum ada keputusan final.
“Ini sementara digodok, belum diputuskan,” kata Faizal.
Menurutnya, terdapat kesepahaman awal bahwa penyelesaian sebaiknya diarahkan melalui dialog dengan pendekatan ideologis, bukan melalui proses hukum.
“Karena ada penjelasan teknis yang krusial dan sensitif, saya persilakan Ketua Tim Reformasi Polri, Prof. Jimly Asshiddiqie, untuk menyampaikan lebih rinci agar tidak salah tafsir,” tuturnya.
Harapkan Tim Reformasi Ikut Selesaikan Masalah Tanpa Penegakan Hukum
Faizal menilai banyak persoalan hukum belakangan ini justru bersifat kontraproduktif dan menambah polarisasi publik. Karena itu, ia berharap tim reformasi tidak hanya menampung aspirasi, tetapi juga membantu mengurai masalah yang sebenarnya dapat diselesaikan melalui dialog.
“Sehingga tim reformasi Polri tidak sekadar mendesain konsep dan menampung aspirasi, tapi ikut memecahkan problem yang bisa diakhiri tanpa perlu penegakan hukum, terutama jika kasus itu berbau politik,” tandasnya.











