SOALINDONESIA–SEMARANG Dewan Pers menegaskan bahwa konten media sosial yang dikelola atau berafiliasi dengan perusahaan media massa tetap dikategorikan sebagai produk jurnalistik, sehingga tidak termasuk dalam ranah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal itu disampaikan Anggota Dewan Pers Muhammad Jazuli dalam Forum Koordinasi dan Sinkronisasi Penguatan Kebijakan Media Massa yang Bertanggung Jawab, Edukatif, Jujur, Objektif, dan Sehat Industri (BEJO’S) yang digelar di Semarang, Kamis (13/11/2025).
“Saya rasa jelas ya, medsos yang berafiliasi dengan media massa, konten yang dihasilkan tetap produk jurnalistik,” ujar Jazuli, dikutip dari Antara.
Konten Media Sosial Media Massa Tetap Dilindungi UU Pers
Jazuli menjelaskan, banyak perusahaan media massa yang kini menggunakan platform media sosial seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan X (Twitter) sebagai sarana distribusi konten jurnalistik mereka.
Karena itu, apabila muncul sengketa atau keberatan atas konten tersebut, penyelesaiannya tetap berada di bawah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan UU ITE.
“Kalau medsos milik pribadi, seperti akun saya pribadi, itu baru ranah UU ITE kalau terjadi sengketa. Tapi kalau medsos yang dikelola media massa, itu bagian dari produk jurnalistik yang tunduk pada UU Pers,” jelasnya.
Pernyataan ini sekaligus menegaskan batas hukum antara konten pribadi dan konten institusional media, di tengah meningkatnya kasus pelaporan pidana berbasis unggahan media sosial yang berasal dari kanal resmi perusahaan pers.
Apresiasi Forum Penguatan Media yang Kredibel
Dalam kesempatan itu, Jazuli juga mengapresiasi forum koordinasi yang digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sebagai langkah konkret membangun ekosistem media yang kredibel, sehat, dan berimbang.
“Forum ini sangat baik dan positif di tengah turbulensi media yang kini dirasakan industri. Banyak faktor internal dan eksternal yang memengaruhi, maka kegiatan seperti ini penting dilakukan secara reguler,” ujar Jazuli.
Menurutnya, di tengah derasnya arus informasi dan disrupsi teknologi, media profesional perlu memperkuat literasi digital serta meningkatkan kapasitas verifikasi dan tanggung jawab etika jurnalistik agar tetap menjadi sumber informasi tepercaya.
Pemerintah: Tak Ada Niat Membatasi Pers
Sementara itu, Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informasi Kemenko Polhukam, Marsekal Pertama TNI Ariefin Sjahrir, menegaskan bahwa pemerintah tidak bermaksud membatasi ruang gerak pers, melainkan memperkuat ekosistem media yang sehat dan bertanggung jawab.
“Kami sadar betul bahwa membentuk ekosistem media yang bersih dan jujur melibatkan banyak pihak. Karena itu, Kemenko Polhukam merangkul semua stakeholder agar bersama-sama mewujudkan media nasional yang sehat,” ujarnya.
Ariefin menambahkan, percepatan transformasi digital menuntut pemerintah dan industri media untuk bergerak seirama agar tidak tertinggal dari perkembangan teknologi informasi global.
“Kita berusaha mengimbangi perkembangan teknologi tanpa bekerja sporadis. Semua pihak kita rangkul supaya tidak tertinggal,” tegasnya.
Pemprov Jateng Dukung Penguatan Media Lokal
Dalam forum yang sama, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Tengah, Agung Hariyadi, menyampaikan dukungan penuh terhadap upaya pemerintah pusat dan Dewan Pers dalam memperkuat media lokal di daerah.
“Kami dorong media lokal tumbuh di daerah-daerah karena mereka yang paling tahu kondisi lingkungannya. Media juga menjadi pilar keempat demokrasi, jadi harus bisa memberikan informasi yang berimbang,” ujar Agung.
Ia menambahkan, peran media lokal sangat strategis dalam membangun literasi publik dan menjaga stabilitas sosial di tengah derasnya informasi yang beredar di dunia maya.
Dengan adanya kejelasan batas hukum antara produk jurnalistik dan konten media sosial pribadi, Dewan Pers berharap tidak ada lagi kriminalisasi terhadap jurnalis atau media massa akibat penyebaran berita melalui platform digital resmi mereka.











