SOALINDONESIA–JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya aktivitas tambang emas ilegal berskala besar yang beroperasi di kawasan Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), hanya sekitar satu jam dari Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah. Tambang tersebut disebut mampu menghasilkan 3 kilogram emas per hari dengan potensi keuntungan mencapai Rp 1,08 triliun per tahun.
Temuan mencengangkan ini diungkap oleh Kepala Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK Wilayah V, Dian Patria, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (22/10/2025).
“Saya juga baru tahu, enggak pernah nyangka di Pulau Lombok, hanya satu jam dari Mandalika ada tambang emas besar. Dan itu luar biasa, ternyata bisa 3 kg emas satu hari,”
kata Dian dalam media briefing tersebut.
Menurut Dian, temuan tambang ilegal itu terungkap saat tim Korsup KPK melakukan kunjungan ke Sekotong, Lombok Barat, pada Oktober 2024. Tambang tersebut beroperasi di area yang cukup luas, setara lapangan sepak bola, dengan tiga titik penyimpanan atau stockpile aktif.
Omzet Rp 90 Miliar per Bulan, Negara Rugi Triliunan Rupiah
Dari hasil pendampingan KPK bersama pemerintah daerah, tambang ilegal itu diduga telah beroperasi sejak 2021 dan menghasilkan omzet sekitar Rp 90 miliar per bulan.
“Ini baru satu lokasi. Belum lagi yang di Lantung, Dompu, dan Sumbawa Barat. Kerugian negara bisa mencapai triliunan rupiah,” ujar Dian.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB, terdapat 26 titik tambang ilegal di wilayah Sekotong yang mencakup 98,16 hektare lahan. Semua kegiatan tersebut tidak menyetor pajak, royalti, maupun iuran tetap kepada negara.
KPK Dorong Pemda dan Aparat Tegakkan Aturan
KPK melalui Korsup Wilayah V telah melakukan koordinasi dan pendampingan dengan Pemerintah Daerah NTB untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan penertiban izin pertambangan.
“Kami dampingi pemda agar optimalisasi pajak dan penegakan aturan bisa berjalan. Tapi kami di Korsup tidak bisa langsung menentukan ada tindak pidana korupsi atau tidak. Kalau pidana sektoral, seperti kehutanan atau lingkungan, kami dorong yang berwenang menindak,” jelas Dian.
KPK juga menemukan adanya potensi modus konspirasi antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pelaku tambang ilegal. Di wilayah Sekotong, misalnya, tambang ilegal beroperasi di area izin milik PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB). Namun, pemegang izin diduga membiarkan aktivitas ilegal itu berjalan tanpa tindakan hukum.
“Kami melihat ada potensi modus, di mana pemegang izin tidak mengambil tindakan terhadap operasi tambang ilegal untuk menghindari kewajiban pajak dan royalti,” ujar Dian.
Tambang di Lombok dan Sumbawa Diduga Dilindungi
Dian juga menyinggung fenomena adanya beking atau perlindungan terhadap aktivitas tambang ilegal, yang membuat aparat daerah sulit bertindak tegas.
“Selama ini banyak yang tidak berani menagih karena mungkin ada beking-bekingnya, atau justru menikmati hasilnya,” ungkapnya.
Selain di Sekotong, tambang emas ilegal juga ditemukan di Lantung, Kabupaten Sumbawa, yang disebut lebih besar skalanya. Ironisnya, sebagian pekerja di tambang tersebut bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga meragukan klaim bahwa tambang itu merupakan “pertambangan rakyat”.
“Narasinya disebut pertambangan rakyat, tapi yang di lokasi malah banyak yang tidak bisa bahasa Indonesia. Jadi rakyatnya yang mana ini?” kata Dian heran.
KPK Tegaskan Perlunya Reformasi Tata Kelola Tambang
KPK menegaskan pentingnya reformasi tata kelola perizinan dan pengawasan tambang di NTB agar praktik pertambangan ilegal bisa dihentikan. Selain berpotensi merugikan negara, aktivitas tambang tanpa izin juga menimbulkan kerusakan lingkungan, terutama di kawasan pesisir yang berdekatan dengan destinasi wisata internasional seperti Mandalika.
“Kita tidak boleh biarkan potensi alam sebesar ini justru menguntungkan pihak-pihak ilegal. Negara seharusnya yang menerima manfaatnya, bukan malah kehilangan miliaran rupiah setiap bulan,” tutup Dian.











