SOALINDONESIA–JAKARTA Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan tantangan besar dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, terutama terkait minimnya jumlah tenaga pengawas dibandingkan dengan luasnya skala permasalahan di lapangan.
Dalam sambutannya di kumparan Green Initiative Conference 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (18/9), Hanif menyebut jumlah pengawas lingkungan di Indonesia hanya sekitar 1.300 orang. Jumlah tersebut termasuk penyidik pegawai negeri sipil yang kurang dari 300 orang, serta pengendali lingkungan sekitar 1.100 orang. Totalnya hanya sekitar 3.000 personel untuk seluruh wilayah Indonesia.
“Seumpama jajaran Kementerian Lingkungan Hidup, bahkan Dinas Lingkungan Hidup di Kabupaten/Kota dan provinsi, kita hanya memiliki tenaga pengawas lingkungan hidup sebanyak 1.300 orang. Ini sudah se-Indonesia, mulai dari Kabupaten Sorong sampai Jakarta,” ujar Hanif.
Tantangan Mengawasi 5 Juta Unit Usaha
Keterbatasan itu menjadi tantangan besar karena berdasarkan data Amdalnet, terdapat lebih dari 5 juta unit usaha di Indonesia. Sekitar 2 juta di antaranya masuk kategori risiko menengah hingga tinggi yang wajib diawasi.
“Pertanyaannya, bagaimana kita mampu mengawasi kinerja lingkungan kita di tengah-tengah keterbatasan sumber daya manusia kita? Yang kedua, sistem informasi kita belum comply terkait permasalahan ini,” jelas Hanif.
Ia menambahkan bahwa hingga kini Indonesia belum memiliki decision support system yang mampu mendeteksi detail permasalahan lingkungan secara komprehensif.
Perlu Kolaborasi Pentahelix
Hanif menegaskan, penanganan lingkungan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Dibutuhkan sinergi pentahelix yang melibatkan akademisi, masyarakat, dunia usaha, pemerintah, serta media.
“Penanganan lingkungan ini benar-benar tidak bisa dilakukan oleh satu pihak. Benar-benar kekuatan, kemampuan sinergis kita di dalam pentahelix menjadi suatu hal yang tidak bisa kita nafikan,” katanya.
Ia mencontohkan kasus ancaman keanekaragaman hayati di sejumlah pulau di Papua Barat, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, hingga Waigeo, yang terancam akibat aktivitas pertambangan. Menurutnya, kondisi tersebut menuntut adanya langkah kolektif dari berbagai pihak.
Standar Lingkungan Ketat, Tapi Masih Ada Kelalaian
Pemerintah telah menetapkan standar ketat dalam pengelolaan lingkungan melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 serta PP Nomor 22 Tahun 2021. Namun, Hanif mengakui kerusakan lingkungan masih kerap terjadi akibat kelalaian dalam menyiapkan sumber daya manusia, sistem informasi, serta lemahnya dukungan akademisi.
“Kenapa masih terjadi kerusakan lingkungan? Padahal peraturan kita sudah ketat. Tetapi hampir semua media setiap harinya selalu memberitakan masalah kerusakan lingkungan. Kita lalai menyiapkan sumber daya manusia, sistem informasi, dan melibatkan akademisi,” tegasnya.
Hanif menambahkan bahwa 90 persen kebijakan lingkungan hidup seharusnya berbasis kajian ilmiah. Namun, koordinasi dengan lembaga pendidikan dan riset masih belum maksimal.
Green Initiative Conference 2025
Kumparan Green Initiative Conference 2025 berlangsung pada 17–18 September dengan tema “Green Transition for Energy Sovereignty and National Industrial Revival.” Acara ini menjadi wadah penting untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan sekaligus menegaskan komitmen peduli lingkungan melalui konferensi ramah lingkungan.