SOALINDONESIA–JAKARTA PT Pertamina (Persero) akhirnya buka suara menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyinggung pembangunan kilang minyak di Indonesia yang tak kunjung rampung sejak terakhir kali dilakukan pada tahun 1988.
Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis Pertamina, Agung Wicaksono, menjelaskan bahwa pembangunan kilang bukan perkara sederhana. Menurutnya, ini adalah proyek dengan investasi besar dan risiko bisnis tinggi, apalagi di tengah kondisi global yang tak stabil.
“Saat ini kondisi dunia tidak baik-baik saja, bisnis kilang ini memang sedang dalam tekanan. Makin banyak kilang selesai dibangun di dunia dan kilang-kilang baru itu jauh lebih efisien,” kata Agung kepada wartawan di sela acara Switzerland Global Conference di Jakarta Selatan, Jumat (3/10/2025).
Kilang Baru Lebih Efisien, Margin Tipis
Agung mengakui bahwa pernyataan Menkeu Purbaya memang beralasan. Namun, menurutnya, realita di lapangan tidak sesederhana hanya soal lambatnya pengerjaan.
Ia menjelaskan bahwa over supply kilang global dan efisiensi teknologi baru telah membuat banyak kilang lama menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, margin keuntungan kilang pun makin menyempit.
“Saat ini margin bisnis kilang sangat tipis. Salah satu penyebabnya karena permintaan bahan bakar menurun—mungkin karena tren kendaraan listrik dan ketidakpastian akibat konflik global,” ujarnya.
Kilang Balikpapan Tetap Dikebut
Meski menghadapi tantangan besar, Agung menegaskan bahwa Pertamina tidak berhenti membangun kilang. Salah satu proyek yang tengah diprioritaskan adalah pembangunan kilang Balikpapan, yang saat ini sedang dikebut penyelesaiannya.
Selain itu, Pertamina juga tengah mengintegrasikan bisnis kilang dengan distribusi bahan bakar lewat Pertamina Patra Niaga serta bisnis perkapalan, agar lebih efisien secara operasional dan keuangan.
“Dengan integrasi ini, diharapkan penguatan layanan ke masyarakat dan stabilitas bisnis kilang dapat tercapai,” ujar Agung.
Butuh Dana USD 7,8 Miliar untuk Bangun Satu Kilang
Agung menjelaskan bahwa untuk membangun satu kilang minyak baru, dibutuhkan investasi sekitar USD 7,8 miliar, atau lebih dari Rp 120 triliun. Jika pemerintah menargetkan pembangunan 7–8 kilang, maka biaya totalnya bisa mencapai Rp 1.000 triliun lebih.
“Investasi ini sangat besar. Karena itu, pembangunan kilang tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus sangat hati-hati dan memperhitungkan keekonomian jangka panjang,” katanya.
Respons atas Kritik Menkeu
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyindir lambatnya pembangunan kilang minyak baru oleh Pertamina. Ia menyoroti bahwa Indonesia masih mengandalkan impor produk minyak, khususnya dari Singapura, akibat minimnya kapasitas kilang domestik.
“Kalau memang Pertamina punya rencana bangun kilang, segera jalankan dengan cepat. Supaya kita bisa mengurangi ketergantungan impor dan menghemat subsidi energi,” ujar Purbaya saat ditemui usai rapat kerja di Kompleks Parlemen, Kamis (2/10).
Ia menegaskan bahwa Indonesia belum pernah membangun kilang minyak baru sejak 1988, dan situasi ini membuat negara rentan secara energi.
Meskipun diwarnai tantangan global dan kebutuhan biaya yang besar, Pertamina menegaskan tetap berkomitmen menyelesaikan pembangunan kilang sebagai bagian dari transformasi energi nasional.
Namun, perusahaan juga menekankan pentingnya kehati-hatian dan efisiensi dalam investasi besar ini, agar tidak menjadi beban keuangan di masa depan.