SOALINDONESIA–JATINANGOR Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan bahwa lonjakan harga emas di tingkat internasional menjadi salah satu faktor utama pendorong inflasi pada kelompok perawatan pribadi di Indonesia.
Menurutnya, peningkatan harga tersebut dipicu oleh fenomena dedolarisasi, yakni pergeseran strategi cadangan aset global yang mulai menjauhi dolar Amerika Serikat (AS).
Pernyataan itu disampaikan Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang digelar di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Jawa Barat, Senin (27/10/2025).
“Terjadi kenaikan harga emas yang sangat tinggi di tingkat internasional. Ada semacam paradigma atau fenomena dedolarisasi saat ini,” kata Tito Karnavian.
Alasan Negara-Negara Besar Beralih ke Emas
Tito menjelaskan, ketegangan geopolitik global menjadi katalis utama di balik lonjakan harga emas dunia. Sejumlah negara besar mengalihkan cadangan devisanya dari dolar AS ke aset aman seperti emas.
Salah satu pemicunya, menurut Tito, adalah pembekuan cadangan dolar Rusia oleh negara-negara Barat setelah invasi ke Ukraina. Langkah tersebut mendorong banyak negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada dolar dan meningkatkan kepemilikan emas.
“Negara-negara besar, terutama Rusia yang di-freeze (dibekukan) simpanan-simpanan dolarnya, membuat mereka beralih kepada simpanan lain, yaitu emas,” jelas Tito.
Ia menambahkan, fenomena ini kemudian diikuti oleh negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Brasil, yang mulai melakukan pembelian emas besar-besaran. Akibatnya, permintaan global melonjak tajam dan menyebabkan harga emas dunia naik signifikan.
“Ini memicu seluruh dunia. Karena harganya naik, otomatis banyak masyarakat yang beli emas untuk safe haven, untuk investasi, termasuk di Indonesia. Itu pendorong utama inflasi kita. Jadi, ini faktor luar, eksternal, bukan faktor internal,” tegasnya.
Inflasi Nasional Tetap Terkendali di Angka 2,65 Persen
Meski ada tekanan dari faktor eksternal, Tito menyebut bahwa tingkat inflasi nasional Indonesia sepanjang tahun 2025 masih berada pada posisi 2,65 persen. Angka ini dinilai stabil dan dalam batas aman, sesuai dengan target pemerintah di kisaran 1,5–3,5 persen.
“Karena Indonesia bukan hanya negara konsumen, tapi juga negara produsen. Kita memiliki petani yang banyak, memiliki nelayan, memiliki pabrik-pabrik produksi yang mereka harus menutup cost operasionalnya,” ujar Tito.
Tito menegaskan, inflasi yang terlalu rendah juga tidak ideal. Sebab, apabila disebabkan oleh rendahnya permintaan (demand), hal itu menandakan melemahnya daya beli masyarakat. Sebaliknya, inflasi yang terlalu tinggi dapat menekan konsumen dan mengganggu stabilitas ekonomi.
Posisi Inflasi Indonesia Relatif Kuat di G20 dan ASEAN
Lebih lanjut, Tito menyampaikan bahwa posisi inflasi Indonesia yang stabil tersebut menempatkan negara ini di jajaran terkuat di antara anggota G20 dan ASEAN.
“Angka yang rendah belum tentu berarti bagus, karena kalau rendahnya karena demand atau daya beli masyarakat menurun, itu justru buruk,” ungkapnya.
Sebagai perbandingan, Tito menyebut beberapa negara di kawasan, seperti Thailand dan Timor Leste, tengah menghadapi tekanan ekonomi berat akibat gejolak politik dan perlambatan pertumbuhan. Dalam konteks itu, stabilitas inflasi Indonesia patut diapresiasi.
Dedolarisasi dan Dampaknya ke Depan
Fenomena dedolarisasi yang semakin menguat diyakini akan terus memengaruhi harga komoditas global, termasuk emas. Tito mengingatkan bahwa meskipun dampak inflasi kelompok perawatan pribadi di Indonesia masih dalam batas wajar, pemerintah perlu terus memantau tren global dan menyesuaikan kebijakan pengendalian harga.
“Kita tidak bisa lepas dari dinamika global. Tapi yang penting, inflasi kita tetap terkendali. Ini bukti kerja sama baik antara pemerintah pusat dan daerah,” tutup Tito.











