SOALINDONESIA–JAKARTA Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan alasan pemerintah pusat memberikan ruang pinjaman kepada pemerintah daerah (Pemda), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Salah satu tujuannya, kata Purbaya, untuk menutup kebutuhan dana jangka pendek yang kerap terjadi di awal atau akhir tahun anggaran.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat, yang menjadi payung hukum bagi Pemda, BUMN, dan BUMD dengan kriteria tertentu untuk mengakses pembiayaan atas persetujuan Menteri Keuangan.
“(Pemberian pinjaman) untuk waktu tertentu, misalnya awal tahun, kadang-kadang akhir tahun, kadang-kadang pemda kekurangan uang,” ujar Purbaya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Ia menjelaskan, pinjaman tersebut difokuskan untuk memenuhi kebutuhan dana jangka pendek, namun pemerintah juga membuka peluang pinjaman jangka panjang bagi proyek-proyek strategis yang dinilai layak.
“Kalau butuh jangka panjang selama proyeknya jelas, ya bisa kita lihat juga,” kata Purbaya.
Meski demikian, Purbaya mengakui bahwa skema teknis pinjaman masih belum dirinci lebih lanjut.
“Belum, belum sampai sana,” ucapnya singkat.
Kritik: Potensi Jebakan Utang
Kebijakan ini mendapat sorotan dari Center of Economic and Law Studies (Celios) yang menilai langkah pemerintah tersebut berisiko menciptakan jebakan utang bagi daerah.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyebut, pemberian pinjaman justru kontradiktif dengan upaya efisiensi anggaran karena dana Transfer ke Daerah (TKD) telah terpangkas hingga 24,7 persen pada 2026. Sementara itu, sekitar 41,3 persen Pemda masuk kategori fiskal rentan.
“Ketika pemda sedang tertekan, pemerintah pusat justru memberi fasilitas pinjaman. Jelas pemda akan sulit mengembalikan dana. Ini jebakan utang,” kata Bhima dalam pernyataan tertulis, Selasa (28/10/2025).
Efek ke Ruang Fiskal Daerah
Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi menilai kewajiban pembayaran cicilan pinjaman melalui APBD dapat mempersempit ruang fiskal untuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
“Untuk menutup kekurangan, pemda kemungkinan menaikkan pajak dan retribusi daerah seperti pajak bumi dan bangunan, kendaraan bermotor, atau konsumsi. Beban ini justru akan menekan kelas menengah yang sudah kesulitan secara ekonomi,” ujarnya.
Kritik atas Sentralisasi Fiskal
Media juga menyoroti bahwa kebijakan pinjaman dari pusat ini berpotensi mencederai semangat otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
“Daerah kehilangan posisinya sebagai entitas otonom yang menentukan arah pembangunan berdasarkan kebutuhan lokal, karena harus memohon pinjaman kepada pusat,” ujarnya.
Ia menilai kebijakan tersebut menunjukkan gejala resentralisasi fiskal, di mana kekuasaan pengelolaan keuangan kembali terpusat di tangan pemerintah pusat.
“Reformasi fiskal kita justru berjalan mundur,” tegasnya.
Konteks Kebijakan
PP Nomor 38 Tahun 2025 menjadi bagian dari upaya pemerintah memperkuat pembiayaan pembangunan dan menjaga stabilitas fiskal nasional. Melalui skema ini, pemerintah ingin memastikan kelancaran proyek prioritas di tengah keterbatasan APBD dan tantangan ekonomi global.
Namun, para ekonom menilai kebijakan tersebut harus dijalankan dengan pengawasan ketat, agar tidak menjerumuskan daerah pada beban utang yang sulit dilunasi dan menggerus kemampuan fiskalnya dalam jangka panjang.











