SOALINDONESIA–JAKARTA Dalam sidang lanjutan praperadilan mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim melawan Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Chairul Huda, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), menekankan bahwa audit kerugian keuangan negara menjadi kunci pembuktian dalam delik korupsi di bawah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang‑Undang Tipikor.
Chairul hadir sebagai saksi ahli dari kubu Nadiem pada Selasa (7/10). Menurutnya, keberadaan kerugian negara saja belum cukup untuk menyimpulkan unsur korupsi. Ia menyebut analogi: bila sebuah gedung pengadilan terbakar dan menyebabkan kerugian, belum otomatis berarti ada tindak pidana korupsi.
“Ada kerugian keuangan negara saja belum tentu korupsi. Gedung pengadilan ini terbakar, merugikan negara, rugi. Tapi, apakah karena korupsi? Jadi, ada kerugian keuangan negara saja belum tentu.”
Karena itu, Chairul menekankan perlunya audit yang bisa menghubungkan kerugian tersebut dengan tindakan yang melawan hukum:
“Makanya, penting sekali adanya audit … untuk menghubungkan antara kerugian tersebut dengan sebab-sebab yang melawan hukum … sekali lagi, ini menjadi urgent, ini menjadi sesuatu hal yang sangat penting.”
Audit BPK vs Audit BPKP: Mana yang Sah?
Chairul menegaskan bahwa laporan kerugian dari BPKP saja tidak cukup sebagai alat bukti sah dalam perkara korupsi. Ia mengatakan bahwa yang memiliki kekuatan sebagai bukti surat yang sah adalah audit dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
“Kalau misalnya ada hasil audit dari auditor tadi, itulah bukti surat. Itu saja sudah menjadi dasar yang cukup … jika dikeluarkan oleh mereka yang kompeten, yang berwenang, itu menjadi sah.”
“Kalau dikeluarkan oleh BPKP saja tanpa pengesahan BPK misalnya, itu adalah alat bukti tapi belum menjadi alat bukti yang sah.”
Dengan demikian, menurut Chairul, penyidik harus memastikan bahwa audit yang dijadikan acuan disahkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum, agar tidak lemah secara probatif di pengadilan.
Kriteria Penetapan Tersangka dan Bahaya Politisasi Hukum
Dalam keterangannya, Chairul juga menyinggung aspek prosedural penting sebelum penetapan dan penahanan tersangka. Ia menyatakan bahwa penetapan tersangka harus didasari tujuan penegakan hukum, bukan motif politis.
“Tujuan penetapan tersangka ini harus dilakukan murni penegakan hukum, alih-alih politisasi hukum … cukup banyak orang ditetapkan tersangka … karena alasan-alasan politik, bukan karena alasan hukum.”
Ia mengingatkan bahwa dalam kasus Budi Gunawan pada 2015, status tersangkanya kemudian dinyatakan tidak sah dalam putusan praperadilan karena proses penetapannya dipandang tidak murni dari aspek hukum.
“Salah satu kasus pertama dari tidak sahnya penetapan tersangka … terkait dengan Bapak Budi Gunawan … disimpulkan bukan dilakukan atas tujuan hukum.”
Selain itu, Chairul berpendapat bahwa beban pembuktian keabsahan tindakan penetapan tersangka seharusnya berada di pihak Termohon (penyidik/kejaksaan), bukan di Pemohon (orang yang menggugat praperadilan).
“Termohon yang harus membuktikan bahwa tindakannya sah. Tetapi … menjadi tidak logis kalau beban pembuktian itu ke Pemohon.”
Latar Kasus Nadiem: Dugaan Korupsi Pengadaan Chromebook
Kasus yang melatarbelakangi gugatan praperadilan ini terkait dengan dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek, yang merugikan negara diperkirakan senilai Rp 1,98 triliun menurut Kejaksaan Agung.
Kejagung menyebut bahwa kerugian itu berasal dari markup perangkat dan harga lisensi manajemen perangkat (Chrome Device Management). Namun, nilai kerugian resmi masih dalam perhitungan lanjutan BPKP.
Nadiem telah membantah tuduhan tersebut dan menempuh praperadilan untuk meminta status tersangka dan penahanannya dinyatakan tidak sah.
Analisis dan Implikasi
Legalitas pembuktian: Pernyataan Chairul menyoroti celah yang sering ditimbulkan apabila audit kerugian negara tidak dilengkapi dengan pengesahan lembaga yang berwenang. Tanpa itu, alat bukti bisa diperdebatkan di pengadilan.
Perlindungan hak asasi: Dengan menegaskan bahwa penetapan tersangka harus didahului lebih dulu bukti yang cukup, ahli ini menegaskan prinsip due process dan perlindungan terhadap kemungkinan kesewenang-wenangan.
Dinamika politik hukum: Kritik terhadap politisasi hukum tidak jarang muncul dalam kasus korupsi besar, terutama bila pejabat tinggi menjadi tersangka. Klaim politisasi bisa memicu keraguan publik terhadap independensi penegak hukum.
Preseden praperadilan: Bila hakim praperadilan menerima argumen seperti yang diajukan Chairul, hal itu bisa membuka standar baru bagi pemeriksaan sah tidaknya penetapan tersangka, terutama yang melibatkan kasus korupsi kompleks.
Penutup
Kehadiran Chairul Huda sebagai ahli hukum pidana dalam sidang praperadilan Nadiem Makarim mempertegas bahwa aspek audit kerugian negara tidak sekadar teknis akuntansi, melainkan elemen krusial dalam konstruksi hukum sebuah kasus korupsi.
Persidangan praperadilan kali ini akan menjadi ujian apakah argumen‐argumen tersebut mampu diterima majelis hakim sebagai landasan untuk membatalkan status tersangka.