SOALINDONESIA–JAKARTA Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim secara resmi mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (23/9/2025).
Permohonan tersebut diajukan melalui kuasa hukumnya, Hana Pertiwi, dari firma hukum Hotman Paris & Partners, menyusul penetapan status tersangka dan penahanan Nadiem oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook.
“Hari ini kami mendaftarkan permohonan praperadilan. Objek yang digugat adalah penetapan tersangka dan penahanan,” kata Hana Pertiwi di PN Jakarta Selatan.
Dinilai Tidak Sah: Kurangnya Alat Bukti Permulaan
Dalam keterangannya, Hana menyatakan bahwa penetapan Nadiem sebagai tersangka tidak sah karena belum memenuhi syarat dua alat bukti yang cukup, termasuk bukti kerugian negara dari lembaga yang berwenang seperti BPK atau BPKP.
“Karena tidak ada dua alat bukti permulaan yang cukup. Salah satunya adalah bukti kerugian negara dari instansi yang berwenang,” tegasnya.
Hana menambahkan bahwa apabila penetapan tersangka dinyatakan tidak sah oleh pengadilan, maka secara otomatis penahanan terhadap Nadiem Makarim juga batal demi hukum.
“Kalau penetapan tersangka tidak sah, maka penahanannya juga otomatis tidak sah. Itu satu kesatuan,” lanjutnya.
Harapan Pembebasan
Pihak kuasa hukum berharap melalui praperadilan ini, status hukum Nadiem dapat segera dibatalkan dan kliennya dibebaskan dari tahanan.
“Ya, kita ikuti proses hukum saja. Semoga keadilan ditegakkan,” kata Hana.
Kejaksaan Belum Beri Tanggapan
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, belum memberikan tanggapan resmi atas permohonan praperadilan yang diajukan pihak Nadiem Makarim.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka pada Kamis (4/9/2025) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sistem Chromebook di lingkungan Kemendikbudristek.
Jaksa menilai kebijakan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 yang mewajibkan penggunaan sistem operasi Chrome OS berpotensi menyebabkan kerugian negara hingga Rp1,98 triliun.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula dari pengadaan perangkat Chromebook yang dilakukan pada masa pandemi COVID-19 sebagai bagian dari digitalisasi pendidikan. Kejaksaan menduga adanya kejanggalan dalam mekanisme tender dan kebijakan teknis yang membatasi pilihan sistem operasi, sehingga memunculkan dugaan pengondisian vendor tertentu dan mark-up harga.