SOALINDONESIA–JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menutup kemungkinan memanggil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, dalam penyidikan kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji Kementerian Agama tahun 2023–2024.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa pemanggilan Gus Yahya akan dipertimbangkan sesuai kebutuhan proses penyidikan.
“Kebutuhan pemeriksaan kepada siapa, nanti kami akan melihat ya dalam proses penyidikannya,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/9/2025).
KPK Libatkan PPATK dan Sita Aset
Budi menegaskan, KPK sejauh ini telah memeriksa sejumlah saksi, melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, serta menyita aset yang diduga berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Selain itu, KPK melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak aliran dana, termasuk yang mengarah ke PBNU.
“Penelusuran ini bukan untuk mendiskreditkan PBNU, melainkan bagian dari kewajiban KPK dalam pemulihan kerugian negara,” jelasnya.
Kerugian Negara Lebih dari Rp 1 Triliun
KPK secara resmi mengumumkan dimulainya penyidikan perkara ini pada 9 Agustus 2025, setelah memeriksa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025.
Hasil penghitungan awal, kerugian negara akibat kasus kuota haji ini mencapai lebih dari Rp 1 triliun. KPK juga mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, salah satunya Yaqut.
DPR Soroti Pembagian Kuota
Di sisi lain, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI turut menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji 2024. Pansus menyoroti pembagian 20.000 kuota tambahan dari Arab Saudi yang dibagi rata oleh Kemenag: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Skema tersebut dinilai melanggar Pasal 64 UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus maksimal 8 persen, sementara 92 persen diperuntukkan bagi haji reguler.
Kasus Masih Bergulir
KPK menegaskan penyidikan masih terus berjalan, termasuk kemungkinan pemanggilan tokoh maupun pejabat lain yang diduga memiliki keterkaitan dengan aliran dana maupun keputusan pembagian kuota.