SOALINDONESIA–JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Syarif Hamzah Asyathry, terkait kasus dugaan korupsi kuota haji tahun 2024.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan Syarif diperiksa karena diduga mengetahui adanya aliran dana dalam perkara yang diperkirakan merugikan negara hingga lebih dari Rp1 triliun itu.
“Pemeriksaan kepada yang bersangkutan adalah atas pengetahuan atau yang diketahuinya terkait dengan konstruksi perkara ini, khususnya dugaan aliran uang,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (17/9/2025).
Penyidikan Bisa Meluas
Menurut Budi, fokus utama penyidikan memang pada aliran dana yang diterima pejabat Kementerian Agama. Namun, ia menegaskan, penyidik tidak menutup kemungkinan memanggil pihak lain jika dinilai mengetahui atau terlibat.
“Jadi nanti pihak-pihak siapa pun tidak dibatasi. Artinya, bila penyidik menduga yang bersangkutan mengetahui dan keterangannya dibutuhkan, maka bisa dilakukan pemanggilan,” tegasnya.
Kaitan dengan Eks Menag Yaqut
Salah satu hal yang dikonfirmasi kepada Syarif adalah mengenai dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) yang disita penyidik dari rumah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada Kamis, 4 September 2025.
“Dikonfirmasi terkait dokumen dan BBE yang ditemukan saat penggeledahan di rumah saudara YCQ (Yaqut Cholil Qoumas),” tambah Budi.
KPK sebelumnya juga telah menggeledah sejumlah lokasi, termasuk kantor Kementerian Agama, dan menyita berbagai dokumen, perangkat elektronik, hingga aset yang diduga terkait perkara.
Dugaan Kerugian Rp1 Triliun
Kasus dugaan korupsi kuota haji ini telah naik ke tahap penyidikan sejak 8 Agustus 2025, berdasarkan sprindik umum. KPK memastikan segera menetapkan tersangka setelah menemukan cukup bukti.
Perkara ini bermula dari tambahan 20.000 kuota haji yang diberikan Pemerintah Arab Saudi pada 2023 usai pertemuan Presiden Joko Widodo dengan otoritas Saudi. Dalam SK Menag tertanggal 15 Januari 2024, kuota tersebut dibagi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Namun, pembagian itu diduga menyalahi aturan dalam UU No. 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang menetapkan komposisi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.