SOALINDONESIA–JAKARTA Hotman Paris Hutapea, pengacara mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, terlibat dalam perdebatan sengit dengan Suparji Ahmad, ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia.
Perdebatan tersebut terjadi dalam sidang lanjutan gugatan praperadilan Nadiem Makarim melawan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (8/10/2025).
Perdebatan panas ini berfokus pada isu audit kerugian negara yang menjadi salah satu elemen penting dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Perdebatan Seputar Perhitungan Kerugian Negara
Hotman membuka perdebatan dengan mempertanyakan pernyataan Suparji yang menyebut bahwa perhitungan kerugian keuangan negara harus sudah dilakukan sebelum penetapan tersangka.
Dalam kesempatan itu, Hotman menyampaikan bahwa salah satu syarat penetapan tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi adalah adanya laporan hasil audit kerugian keuangan negara.
“Tadi terima kasih ahli sudah menjawab rekan saya yang mengatakan yang bisa menghitung itu adalah BPK. Ya, dan kemudian ternyata didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004,” kata Hotman dalam persidangan.
Namun, Suparji menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksa eksternal keuangan negara adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), bukan pihak yang menghitung kerugian negara.
“Mohon izin, Yang Mulia. Ahli sampaikan tadi bahwa pemeriksa eksternal itu adalah BPK, bukan menghitung itu yang ahli maksudkan. Pemeriksa eksternal keuangan negara,” ujar Suparji, yang kemudian disetujui oleh Hakim I Ketut Darpawan.
Perbedaan Pandangan Mengenai Surat Edaran MA
Perdebatan semakin memanas ketika Hotman mengutip dua Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) yang menyebutkan bahwa yang dapat menghitung kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Hotman menyatakan bahwa berdasarkan surat edaran MA, kerugian negara harus dihitung terlebih dahulu oleh dua instansi tersebut sebelum penetapan tersangka.
“Bukan, di dalam surat edaran itu disebutkan yang menghitungnya adalah BPK dan BPKP. Di dalam dua surat edaran Mahkamah Agung,” ujar Hotman.
Namun, Suparji mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pihak yang dapat menghitung kerugian negara tidak terbatas hanya pada BPK dan BPKP. Menurutnya, jaksa juga dapat menghitung kerugian keuangan negara berdasarkan bukti lain yang relevan.
“Mohon izin, Yang Mulia. Sependek pengetahuan ahli, bahwa itu adalah kaitannya yang menyatakan kerugian keuangan negara. Kalau menghitung, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi itu bisa BPK, bisa BPKP, bisa auditor internal, bahkan jaksa sendiri bisa menghitung pada putusan MK,” jelas Suparji.
Kerugian Negara Harus “Nyata dan Pasti”
Hotman kemudian menekankan bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi, salah satu alat bukti permulaan yang diperlukan adalah laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang menunjukkan kerugian keuangan negara.
Suparji pun menanggapi dengan mengatakan bahwa dalam konteks putusan MK, LHP bukanlah suatu keharusan untuk membuktikan kerugian negara, melainkan yang terpenting adalah bukti bahwa kerugian tersebut “nyata dan pasti” serta dapat dihitung.
“Yang terpenting adalah nyata dan pasti dan kemudian dapat dihitung tadi itu, tidak ada satu keharusan berdasarkan adanya sebuah LHP,” ujar Suparji.
Tantangan terhadap Proses Penyidikan
Selain perdebatan mengenai audit kerugian negara, Hotman juga menantang ketidakprofesionalan dalam proses penyidikan, khususnya terkait dengan tuduhan mark-up harga yang disematkan pada kliennya, Nadiem Makarim. Hotman mempertanyakan mengapa dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tidak ada pertanyaan tentang mark-up harga yang menjadi inti dari tuduhan terhadap Nadiem.
“Kita persempit, dia diperiksa tapi yang dituduhkan itu tidak ditanya. Dituduh mark-up, tapi tidak ditanyakan mark-up yang mana. Ini prosedur juga, kan, ini kan mengecil,” ujar Hotman.
Namun, Suparji menanggapi bahwa hal tersebut lebih terkait dengan materi pokok perkara, dan bukan prosedural. Suparji menilai bahwa tidak semua hal harus ditanyakan dalam pemeriksaan, karena bisa saja kerugian negara dapat dibuktikan dengan bukti lain selain keterangan saksi.
“Bahwa hal-hal yang ditanyakan kan suatu yang substansi, ya, suatu yang materiil ya, bukan sekadar prosedur,” jawab Suparji.
Contoh Kasus Pelecehan dan Pengecekan Penyidik
Dalam rangkaian pertanyaan yang terus mengalir, Hotman kemudian memberikan analogi kasus pelecehan untuk menggambarkan ketidaktegasan penyidik dalam menangani kasus yang sedang diperiksa. Hotman menyarankan bahwa jika seseorang dituduh melecehkan orang lain, maka penyidik harus memeriksa siapa korban dan apa yang terjadi dalam kasus tersebut.
“Kalau saya misal, mohon maaf nih, melecehkan putri orang, tentu harus ditulis dong namanya si Erni, si Susi. Kalau begini, memperkaya orang lain, tapi saya baca tadi BAP-nya itu sama sekali tidak ada pertanyaan apa pun tentang siapa yang diperkaya, bagaimana, dan berapa besarnya diperkaya,” ungkap Hotman.
Suparji menanggapi bahwa dalam kasus korupsi, kesimpulan tentang siapa yang diperkaya dan bagaimana perolehan keuntungan bisa diperoleh dari bukti lain, dan tidak selalu harus berdasarkan pertanyaan dari penyidik.
“Karena kesimpulan memperkaya itu bisa saja dari bukti-bukti atau kemudian dari fakta-fakta yang lain, tidak harus berdasarkan dari sebuah pertanyaan,” jawab Suparji.
Polemik Penetapan Tersangka
Dengan perdebatan yang terus berlangsung, Hakim Ketut Darpawan akhirnya menginterupsi dan meminta agar pertanyaan Hotman tidak terus dipaksakan untuk mendapatkan jawaban yang sesuai dengan harapannya.
“Baik, sebelum dilanjutkan, Saudara Kuasa Pemohon tidak perlu diperdebatkan, ya. Kalau Saudara memang tidak setuju dengan pandangannya atau jawabannya memang kurang memuaskan, tidak apa-apa,” ujar hakim.
Kasus Dugaan Korupsi Laptop Chromebook
Kasus ini berawal pada Februari 2020 saat Nadiem Makarim melakukan pertemuan dengan Google Indonesia, yang mengarah pada pengadaan laptop Chromebook untuk Kemendikbudristek. Dalam pengadaan tersebut, Nadiem diduga terlibat dalam mark-up harga laptop, dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 1,98 triliun.
Nadiem Makarim Ditahan dan Ajukan Praperadilan
Saat ini, Nadiem Makarim telah dijerat sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook. Nadiem membantah tuduhan tersebut dan mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan status tersangkanya. Sidang praperadilan kini sudah memasuki tahap pembuktian di pengadilan.