SOALINDONESIA–JAKARTA Seorang advokat bernama Hanter Oriko Siregar resmi mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat minimal pendidikan lulusan SMA atau sederajat bagi calon presiden, wakil presiden, kepala daerah, anggota legislatif, hingga anggota DPD.
Permohonan tersebut teregister dengan nomor perkara 154/PUU-XXIII/2025 dan disidangkan dalam sidang pendahuluan pada Rabu (3/9) di ruang sidang panel MK yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Pasal yang Digugat
Hanter menggugat beberapa ketentuan dalam UU Pemilu dan UU Pilkada, antara lain:
Pasal 169 huruf r UU Pemilu (syarat Capres-Cawapres)
Pasal 182 huruf e UU Pemilu (syarat calon DPD)
Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu (syarat calon DPR/DPRD)
Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada (syarat calon kepala daerah).
Menurutnya, standar minimal pendidikan tersebut sudah tidak relevan dengan kebutuhan saat ini.
“Negara justru mewajibkan guru SD minimal sarjana, tetapi presiden, wakil presiden, dan pejabat publik strategis cukup lulusan SMA. Ini tidak rasional dan berpotensi berdampak pada kualitas kebijakan negara,” ujar Hanter.
Tuntutan Pemohon
Dalam petitumnya, Hanter meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai dengan syarat minimal lulusan S-1 atau sederajat.
Ia juga menilai pasal-pasal yang berlaku sekarang melanggar asas rasionalitas, proporsionalitas, dan meritokrasi, serta tidak menjamin rakyat dipimpin oleh sosok yang memiliki kemampuan intelektual memadai.
Nasihat Hakim Konstitusi
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengingatkan bahwa syarat pendidikan minimal Capres-Cawapres sudah pernah diuji sebelumnya melalui Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025, yang akhirnya ditolak.
“Ini harus dikaitkan dengan Pasal 60 UU MK dan Pasal 72 PMK 7/2025. Saudara harus bisa membangun argumentasi apa perbedaan permohonan sekarang dengan putusan sebelumnya. Kalau tidak, bisa dianggap ne bis in idem,” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman menilai pemohon perlu menjelaskan lebih rinci letak kerugian konstitusionalnya.
“Saudara harus bisa memberi narasi, padahal tingkatannya berbeda. Presiden dan wakil presiden punya wilayah yang lebih luas dibanding anggota DPR atau DPRD. Di mana letak kerugian Pemohon dengan tiga norma ini?” tegas Anwar.
Hakim Arief Hidayat menambahkan, agar permohonan tidak dianggap pengulangan, pemohon harus menyajikan argumen baru yang kuat, misalnya potensi pelanggaran HAM atau dampak terhadap kualitas demokrasi.
Kasus Sebelumnya
Perkara serupa sebelumnya pernah diajukan oleh Hanter Oriko Siregar bersama seorang mahasiswa, Horison Sibarani, dengan nomor 87/PUU-XXIII/2025. Namun MK menolak gugatan tersebut dan menegaskan syarat minimal SMA bagi Capres-Cawapres tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Kini, Hanter kembali mencoba lewat jalur hukum, dengan cakupan yang lebih luas, mencakup DPR, DPD, DPRD, dan kepala daerah.