SOALINDONESIA–JAKARTA Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mengungkap perkembangan mengejutkan dalam penyidikan kasus perekrutan anak di bawah umur oleh jaringan terorisme melalui media sosial dan game online. Salah satu dari lima pelaku yang berhasil ditangkap disebut telah memiliki niat khusus untuk melakukan aksi teror di Gedung DPR RI.
Hal itu disampaikan Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, dalam konferensi pers Penanganan Rekrutmen Online Terhadap Anak oleh Kelompok Terorisme di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).
“Yang terakhir kami temukan, salah satu dari pelaku ini juga berkeinginan untuk melakukan aksi di Gedung DPR RI. Ini yang membuat kami harus segera melakukan penegakan hukum,” tegas Mayndra.
Pelaku Berasal dari Jaringan ISIS, Gunakan Pola Rekrutmen Baru
Mayndra menjelaskan bahwa sebagian besar tersangka berasal dari jaringan ISIS atau Ansharu Daulah. Meski begitu, mereka menerapkan metode rekrutmen baru yang menyasar anak-anak melalui ruang digital yang lebih luas dan sulit terpantau.
“Pemain lama yang pertama kali ditangkap Densus 88 diketahui jaringannya berasal dari ISIS atau Ansharu Daulah. Setelah bebas dari proses hukum, dia kembali mencoba merekrut anak-anak,” ungkapnya.
Hingga kini, Densus 88 mencatat 110 anak dari 26 provinsi di Indonesia telah berhasil direkrut melalui pola yang sama.
Perekrutan Dimulai dari Media Sosial hingga Grup Privat
Para pelaku memanfaatkan platform terbuka seperti media sosial untuk menyebarkan narasi utopis yang mudah menarik perhatian anak-anak. Konten yang dibagikan bersifat menggugah rasa ingin tahu, lalu mengarahkan target bergabung ke grup privat yang lebih tertutup dan terenkripsi.
“Di platform umum mereka menyebarkan visi-visi yang mungkin dapat mewadahi fantasi anak-anak sehingga tertarik. Setelah itu mereka diarahkan ke grup yang lebih kecil dan privat,” jelas Mayndra.
Di dalam grup tertutup inilah proses indoktrinasi mulai dilakukan. Salah satu pola yang digunakan adalah membandingkan ideologi negara dengan ajaran tertentu secara tendensius, misalnya melalui pertanyaan provokatif seperti ‘Mana yang lebih baik, Pancasila atau kitab suci?’
“Proses rekrutmen ini berlapis. Anak-anak dibuat tertarik dulu, lalu masuk grup, kemudian diarahkan lebih dalam untuk dicuci otaknya,” tambahnya.
Ancaman Serangan Nyata dan Upaya Pencegahan
Menurut Densus 88, peningkatan aktivitas digital kelompok teror ini tak hanya mengancam keselamatan generasi muda, tetapi juga objek vital negara.
“Kami mendeteksi adanya ancaman serangan, baik terhadap fasilitas vital maupun fasilitas keamanan,” ujarnya.
Sebagai langkah pencegahan, Densus 88 bekerja sama dengan BNPT dan Kominfo untuk memperkuat publikasi konten positif, meningkatkan literasi digital, serta memperketat pemantauan ruang siber yang berpotensi digunakan untuk perekrutan.
Tindakan Cepat untuk Lindungi Anak-anak
Mayndra menegaskan bahwa tindak tegas Densus 88 bukan hanya bertujuan menekan potensi serangan teror, tetapi juga menyelamatkan anak-anak yang telah terlanjur direkrut dan terpapar ideologi ekstrem.
“Pencegahan atau preventive strike dilakukan untuk melindungi keamanan objek vital negara dan keselamatan umum, termasuk keselamatan para pelaku dan anak-anak yang direkrut ini,” tutupnya.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi orang tua agar lebih waspada terhadap aktivitas digital anak, termasuk interaksi di game online dan media sosial yang kian sering dimanfaatkan kelompok teror sebagai pintu masuk perekrutan.











