SOALINDONESIA–JAKARTA Isu dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo kembali mencuat dan turut menjadi pembahasan dalam rapat audiensi Komisi Percepatan Reformasi Polri di Gedung PTIK, Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025). Salah satu peserta audiensi yang juga Aktivis 98, Faizal Assegaf, mendorong agar perkara tersebut ditempuh melalui jalur mediasi.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie membenarkan bahwa persoalan sengketa ijazah bukan fenomena baru dalam dunia politik Indonesia. Ia mengingatkan, sejak dirinya menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004, masalah serupa banyak muncul selama proses pemilu.
“Saya cerita, saya ketua MK tahun 2004 yang pertama kali pilpres dan pemilu yang perselisihannya dibawa ke MK. Itu banyak sekali kasus ijazah palsu. Maka tahun 2004 itu syarat jadi caleg SMP… mesti ditingkatkan dong, jangan SMP, mesti SMA. Ternyata tetap banyak juga ijazah palsu itu,” ujar Jimly.
Menurutnya, persoalan tersebut terus berulang selama dua dekade terakhir. Ia mencontohkan, dalam penanganan perkara Pilkada 2024, dari 40 perkara yang disidangkan MK, tujuh di antaranya terkait dugaan ijazah palsu.
Dua Penyebab Utama Maraknya Temuan Ijazah Bermasalah
Dalam pandangan Jimly, maraknya temuan dugaan ijazah palsu bisa menandakan dua hal:
1. Administrasi pendidikan yang buruk, termasuk pengelolaan dokumen akademik yang belum tertata.
2. Kerentanan isu ijazah dijadikan alat persaingan politik, sehingga sering dimunculkan sebagai strategi saling serang.
Usulan Mediasi untuk Kasus Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma
Dalam audiensi, Faizal Assegaf mengusulkan agar kasus dugaan ijazah palsu yang melibatkan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma didorong menuju mediasi. Usulan tersebut langsung dicatat oleh komisi.
“Bagaimana bisa tidak mediasi? Oh bagus itu, coba tanya dulu mau enggak mereka dimediasi — baik pihak Jokowi dan keluarga maupun pihak Roy Suryo dkk,” ujar Jimly.
Jimly menegaskan bahwa mediasi tidak menghapus status tersangka. Namun, mekanisme restorative justice dapat menjadi solusi bila para pihak menemukan titik temu. Jika tidak, proses pidana tetap dapat dilanjutkan.
“Status tersangkanya tetap, tetapi dimediasi dulu. Kalau ada titik temu bisa tidak dilanjutkan pidananya, tetapi kalau tidak berhasil ya lanjut,” jelasnya.
Ia menyebut proses perdata telah berlangsung di Solo, sementara jalur Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat digunakan dalam konteks ini. Oleh karena itu, opsi penyelesaian kini mengerucut pada ranah pidana dengan peluang mediasi penal.
Komisi Tidak Fokus pada Penanganan Kasus Perorangan
Meski demikian, Jimly mengingatkan bahwa Komisi Percepatan Reformasi Polri tidak memiliki kewenangan menangani kasus individual. Komisi hanya menampung aspirasi publik sebagai masukan untuk rekomendasi reformasi kepolisian.
“Kami tidak terpaku pada kasus-kasus. Kalau ada kasus ya kami tampung, untuk cari solusi. Tetapi orang yang sudah tersangka, harap dimaklumi kami tidak bisa menerima, ini soal etika,” kata Jimly.
Ia menegaskan bahwa seluruh masukan, termasuk terkait isu ijazah, akan dicatat sebagai bahan perbaikan sistem ke depan.











