SOALINDONESIA–JAKARTA Reformasi sistem pendidikan kembali menjadi perhatian utama dalam sesi diskusi bertajuk “Ideas to Upgrade and Reform Our Education Ecosystem” di ASEAN for the Peoples Conference (AFPC) 2025, yang berlangsung di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta, Minggu (5/10/2025).
Para tokoh pendidikan dari berbagai negara Asia Tenggara menyoroti kesenjangan sistemik dan perlunya perubahan mendasar demi menjawab tantangan era digital dan kebutuhan generasi muda.
Salah satu pembicara utama, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Anies Baswedan, menyampaikan pandangan kritis terhadap sistem pendidikan di Asia Tenggara yang dinilai belum mampu mengikuti perkembangan zaman.
“Siswa kita hidup di abad ke-21, guru masih berpikir dengan pola abad ke-20, dan ruang kelas kita berasal dari abad ke-19,” ujar Anies dalam sesi diskusi yang penuh antusiasme peserta.
Anies menyoroti bahwa kesenjangan pendidikan bukan hanya soal fasilitas atau akses, tetapi juga mencakup “dreams gap” — kesenjangan dalam hal imajinasi dan cita-cita, terutama antara anak-anak di kota besar dan daerah terpencil.
“Anak-anak di kota besar memiliki banyak contoh dan peluang. Sementara di desa, banyak yang bahkan tidak pernah bertemu orang yang kuliah. Tanpa imajinasi tentang apa yang mungkin, bakat bisa hilang sebelum sempat tumbuh,” tegasnya.
Pendidikan Lebih dari Sekadar Persiapan Kerja
Dalam paparannya, Anies juga menekankan bahwa pendidikan tidak boleh dipersempit hanya sebagai sarana untuk memasuki dunia kerja. Ia menyerukan perubahan paradigma dalam melihat peran pendidikan dalam masyarakat.
“Pendidikan harus menyiapkan anak muda menjadi warga yang kritis, punya empati, dan mampu memecahkan masalah di masyarakat,” jelasnya.
Sebagai solusi konkret, ia mengusulkan kerja sama lintas negara ASEAN, seperti program pertukaran guru dan relawan muda, untuk memperkaya pengalaman belajar lintas budaya dan memperluas wawasan peserta didik di seluruh kawasan.
Vietnam: Pendidikan Gratis, Strategi Atasi Kemiskinan
Dari Vietnam, Assoc. Prof. Dr. Nguyen Thanh Lam, Wakil Rektor Universitas Lac Hong, menyampaikan langkah konkret negaranya dalam menjamin akses pendidikan. Ia mengumumkan bahwa mulai September 2025, pemerintah Vietnam membebaskan biaya sekolah dari tingkat taman kanak-kanak hingga SMA.
“Pendidikan adalah strategi utama untuk keluar dari kemiskinan. Setiap anak di Vietnam harus mendapat kesempatan yang sama untuk belajar,” ujarnya.
Langkah ini dinilai sebagai tonggak penting dalam mendorong pemerataan pendidikan di Asia Tenggara, khususnya bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Malaysia: Kunci Reformasi Ada di Guru
Sementara itu, Samuel Isaiah, Direktur Eksekutif organisasi pendidikan PEMIMPIN dari Malaysia, menyoroti peran strategis guru dalam reformasi pendidikan. Ia menegaskan bahwa peningkatan kualitas guru harus menjadi prioritas utama.
“Kalau kita tidak punya guru terbaik di kelas, maka tidak ada yang akan berubah. Meningkatkan status dan pelatihan guru adalah kunci reformasi,” ujarnya.
Menurut Samuel, profesi guru harus kembali mendapat penghargaan yang tinggi di masyarakat, disertai dukungan sistemik untuk pengembangan kapasitas mereka.
Seruan untuk Reformasi Menyeluruh di Kawasan ASEAN
Diskusi di AFPC 2025 ini menghasilkan satu pesan kuat: reformasi pendidikan di Asia Tenggara tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Perlu kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat sipil untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan relevan.
Bagi Anies Baswedan, pendidikan bukan sekadar soal mengajar demi masa depan, tetapi juga soal membangun masa depan yang bisa dibayangkan oleh semua anak di kawasan ini.
“Reformasi harus menutup bukan hanya skills gap, tapi juga dreams gap. Setiap anak di ASEAN harus punya kesempatan yang sama untuk bermimpi besar dan mewujudkannya,” pungkasnya.