SOALINDONESIA–JAKARTA Hari ini menjadi batas akhir penuntasan 17 Tuntutan Rakyat yang disuarakan dalam gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat. Desakan itu sebelumnya disampaikan langsung kepada DPR RI pada 29 Agustus lalu, dengan tenggat seminggu untuk 17 poin jangka pendek dan delapan tuntutan tambahan diberi waktu hingga 31 Agustus 2026.
Gerakan ini lahir dari aksi demonstrasi besar-besaran yang menuntut reformasi menyeluruh di bidang politik, hukum, hingga kesejahteraan buruh. Beberapa poin utama dari 17 tuntutan itu meliputi penarikan TNI dari ranah sipil, penghentian kriminalisasi demonstran, pembentukan tim investigasi independen atas kasus pelanggaran HAM, transparansi gaji dan tunjangan DPR, hingga jaminan upah layak bagi pekerja.
Respons DPR dan Pemerintah
Menjelang tenggat, DPR mulai merespons sebagian tuntutan publik. Fraksi-fraksi besar seperti Gerindra, PDIP, dan Golkar menyatakan sepakat untuk menunda atau menghapus sejumlah fasilitas anggota dewan, termasuk rencana penyediaan rumah dinas baru. Selain itu, perjalanan dinas ke luar negeri untuk sementara ditangguhkan.
Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut tuntutan lain akan dibahas lebih lanjut dalam rapat paripurna. Namun hingga batas waktu hari ini, belum ada satu pun dari 17 tuntutan yang benar-benar dipenuhi sepenuhnya.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad bahkan menyampaikan permintaan maaf kepada mahasiswa dan masyarakat atas kesalahan wakil rakyat dalam merespons aspirasi publik.
Catatan Kelompok Sipil
Situs resmi gerakan Rakyat Menuntut menegaskan bahwa sejumlah tuntutan krusial masih belum ditindaklanjuti, seperti penarikan TNI dari ranah sipil, pembebasan tahanan aksi, dan pembentukan tim investigasi independen untuk kasus Affan Kurniawan serta Umar Amarudin.
Begitu pula dengan isu kesejahteraan buruh, penghentian PHK massal, hingga reformasi ketenagakerjaan, yang dinilai masih sebatas wacana tanpa kebijakan konkret.
Akar Gerakan 17+8
Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat muncul pascademonstrasi besar pada 25–31 Agustus 2025, dipicu isu kenaikan tunjangan DPR, kekerasan aparat, hingga desakan untuk menjamin upah layak. Dokumen tuntutan diserahkan langsung oleh Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah kepada Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Andre Rosiade dan anggota Komisi VI Rieke Diah Pitaloka.
Tokoh-tokoh publik seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, dan Fathia Izzati ikut mempopulerkan gerakan ini sebagai simbol keresahan publik yang terorganisir.
Langkah Selanjutnya
Hingga kini, masyarakat sipil masih menunggu tindak lanjut konkret dari DPR dan pemerintah. Beberapa aktivis menyebut, jika tidak ada progres nyata dalam waktu dekat, gelombang aksi bisa kembali membesar.