SOALINDONESIA–JAKARTA Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dimaksudkan untuk melemahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebaliknya, perubahan ini ditujukan untuk memperkuat peran, fungsi, dan efektivitas lembaga tersebut dalam menjalankan mandatnya.
Sekretaris Jenderal KemenHAM, Novita Ilmaris, mengatakan bahwa substansi revisi UU HAM akan diarahkan untuk memperjelas pembagian kewenangan antara pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM (P5HAM) dengan Komnas HAM sebagai lembaga independen pengawas.
“Pada prinsipnya, komitmen untuk memperkuat peran Komnas HAM sudah disampaikan langsung oleh Bapak Menteri. Pembahasan revisi ini justru diarahkan agar lembaga HAM, termasuk Komnas HAM, lebih efektif dalam menjalankan mandatnya,” ujar Novita kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/11/2025).
Menurutnya, revisi ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat ekosistem kelembagaan HAM di Indonesia agar lebih adaptif terhadap tantangan zaman, termasuk perkembangan isu-isu HAM global dan digital.
Revisi Disusun Secara Inklusif
Novita menjelaskan bahwa penyusunan revisi UU HAM dilakukan dengan pendekatan inklusif dan partisipatif. Pemerintah, kata dia, telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pakar HAM, akademisi, masyarakat sipil, hingga mantan pimpinan Komnas HAM.
“Selain jajaran Kementerian HAM, kita juga melibatkan banyak pihak. Silakan bisa dicek jejak digitalnya, beberapa pembahasan yang kita lakukan melibatkan semua unsur, termasuk Komnas HAM yang hadir saat pembahasan. Sekali lagi, rancangan RUU ini masih bersifat dinamis,” tutur Novita.
Ia menegaskan, masukan dari seluruh pihak akan menjadi bahan penting dalam penyempurnaan draf RUU agar tidak menimbulkan multitafsir maupun kesan pelemahan terhadap lembaga HAM yang ada.
Komnas HAM Kritisi 21 Pasal dalam Draf Revisi
Sebelumnya, Komnas HAM mengkritisi sedikitnya 21 pasal dalam draf revisi UU HAM yang disusun pemerintah. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai sejumlah ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dari sisi norma dan kelembagaan.
Anis menyoroti adanya ketentuan yang dianggap dapat melemahkan kewenangan Komnas HAM dalam menangani pelanggaran HAM. Ia menilai, sebagian fungsi pengawasan dan penanganan justru diberikan kepada Kementerian HAM sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan.
“Pemerintah sering kali menjadi pihak yang diadukan dalam kasus pelanggaran HAM. Jadi, ketika fungsi itu diberikan kepada kementerian, independensi dan kredibilitas penanganan bisa terganggu,” tegas Anis.
Lebih lanjut, Anis juga menyoroti Pasal 100 Ayat (2) dalam draf revisi yang mengatur bahwa panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh Presiden. Padahal, dalam UU HAM yang berlaku saat ini, panitia seleksi dibentuk oleh sidang paripurna Komnas HAM.
“Ketentuan itu jelas mengancam independensi Komnas HAM karena membuka ruang intervensi kekuasaan eksekutif dalam proses seleksi,” tambahnya.
KemenHAM Pastikan Tidak Ada Upaya Melemahkan
Menanggapi hal tersebut, Novita memastikan bahwa kekhawatiran Komnas HAM akan menjadi masukan penting dalam pembahasan lebih lanjut. Ia menegaskan bahwa KemenHAM tidak memiliki agenda untuk mengurangi independensi lembaga HAM.
“Tidak ada niat untuk melemahkan. Justru kami ingin memastikan agar Komnas HAM bekerja lebih kuat dengan dasar hukum yang lebih jelas dan relevan dengan perkembangan sosial, politik, dan teknologi saat ini,” ujar Novita.
Menurut dia, pemerintah juga terbuka terhadap dialog lanjutan dengan Komnas HAM dan masyarakat sipil untuk mencari rumusan terbaik dalam revisi undang-undang tersebut.
“Semua pihak akan kita ajak bicara lagi. Prinsipnya, memperkuat, bukan melemahkan,” pungkasnya.











