SOALINDONESIA–MATARAM Kasus kematian Prada Lucky Namo terus menguak sisi kelam kehidupan di lingkungan militer. Fakta terbaru yang terungkap dalam sidang lanjutan di Pengadilan Militer III-16 Mataram, Rabu (5/11/2025), menunjukkan bahwa rekan-rekan sesama prajurit memilih diam dan acuh meski melihat kondisi korban penuh luka dan dalam keadaan kritis.
Dalam sidang tersebut, Oditur Militer Letkol Chk Yusdiharto menyoroti keras sikap para prajurit yang dianggap tidak memiliki empati terhadap sesama anggota. Ia mempertanyakan mengapa tidak ada upaya pertolongan atau laporan serius saat kondisi Prada Lucky memburuk.
“Kok cuek banget sih, enggak mau tahu kawannya kayak gitu? Sudah tahu ada anggota luka, bekas selang banyak, masa iya diam saja?” tegas Yusdiharto dengan nada tinggi dalam ruang sidang.
Saksi Akui Pemeriksaan Hanya Kasat Mata
Dalam persidangan, Letda Ckm Eman Yudhi Wana Prakarsa, yang menjabat Danton Evakuasi sekaligus saksi ke-9, mengaku sempat memeriksa kondisi tubuh Prada Lucky. Namun, pemeriksaan dilakukan hanya secara kasat mata, tanpa pemeriksaan medis mendalam.
“Diperiksa secara menyeluruh tidak? Dengan kasat mata saja, kan penasaran ini orang kesehatan kan?” tanya Yusdiharto.
“Siap, banyak lukanya. Yang kami lihat hanya di punggung dan di lengan. Kami tidak mengecek di kaki,” jawab Eman.
Ketika ditanya mengapa korban tidak segera dipindahkan ke Kamar Sakit Anggota (KSA), Eman mengaku tidak ada perintah dari atasan. Ia mengklaim sudah melaporkan kondisi luka-luka korban, namun tidak ada tindak lanjut.
Oditur kembali menekan saksi dengan pertanyaan tajam, menyoroti kemungkinan sumber luka yang dialami korban.
“Menurut saksi, luka-luka seperti itu karena apa?”
“Mungkin bekas pukulan,” jawab Eman.
“Pukul pakai apa?”
“Pakai selang,” jawabnya lirih.
Namun ketika ditanya siapa pelakunya, Eman menjawab tidak tahu.
“Enggak tahu izin, pas kami tanya ke leting-leting-nya katanya kena selang,” ujarnya.
Yusdiharto pun menegur keras kesaksian itu.
“Wah, cuek banget ini,” katanya dengan nada kecewa.
Kebohongan di Depan Dokter
Fakta lain yang menggemparkan juga terungkap. Para saksi ternyata berbohong kepada dokter saat membawa Prada Lucky ke fasilitas medis. Mereka tidak mengatakan bahwa luka-luka tersebut akibat kekerasan.
“Ditanya enggak sama dokter kenapa luka-luka begini?” tanya Oditur.
“Siap, sempat ditanya,” jawab Letda Eman.
“Apa jawabannya?” cecar hakim.
“Kami jawab jatuh dari pohon atau dari bukit,” ungkapnya.
Oditur pun menyindir tajam, “Cuma, enggak bilang kena pukul, tapi jatuh ya? Jadi bohong di depan dokter.”
Saksi Tidur Saat Korban Disiksa
Kesaksian lain disampaikan oleh Prada Arnoldus Seran (Saksi 10). Ia mengaku mendengar suara pukulan saat peristiwa penganiayaan terjadi, tetapi tidak melihat langsung karena tertidur di barak.
“Suara pukulannya seperti apa yang saksi dengar?” tanya Oditur.
“Tendang dan cambuk,” jawab Arnoldus.
“Kok bisa tahu?”
“Izin, cambuk dan tendang bunyinya beda,” ujarnya.
Namun, ia mengaku tidak mendengar suara teriakan atau permintaan tolong dari korban. Kesaksian ini membuat Oditur menilai adanya keacuhan sistematis di antara sesama prajurit terhadap penderitaan rekannya sendiri.
Ramuan Kejam: Luka Prada Lucky Dioles Cabai dan Garam
Kesaksian paling mengejutkan datang dari Prada Jemi Langga (Saksi 11). Ia mengaku diperintahkan oleh Pratu Aprianto Rede Radja, salah satu terdakwa, untuk menyiapkan ramuan berisi cabai, garam, air, dan minyak. Campuran itu kemudian dioleskan ke luka di punggung Prada Lucky yang belum kering.
“Saya diperintahkan oleh terdakwa 4 untuk ditaruh di punggung yang luka-lukanya belum kering,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Saat ditanya tujuan tindakan itu, Jemi menjawab bahwa perintah tersebut diyakini agar luka korban cepat kering. Namun, Oditur menegaskan tindakan itu tidak manusiawi dan menyiksa korban.
“Menurut terdakwa 4 biar cepat kering,” kata Jemi.
“Tapi kamu tahu itu perih?” tanya Oditur.
“Siap, perih,” jawab Jemi pelan.
Ia mengaku tetap melaksanakan perintah tersebut karena takut pada atasannya.
“Siap, karena perintah dari terdakwa 4,” ujarnya.
Menanggapi itu, Yusdiharto menegaskan, “Itu bukan loyalitas. Itu keacuhan dan ketakutan yang membunuh.”
Ratapan Keluarga dan Seruan Keadilan
Kematian Prada Lucky sebelumnya mengguncang publik setelah foto dan kesaksian keluarga menunjukkan luka parah di sekujur tubuh korban. Dalam prosesi pemakaman, ratapan pilu orang tua Prada Lucky Namo mewarnai suasana saat peti jenazah ditutup.
Ibunda korban bahkan menolak santunan sebesar Rp 220 juta yang ditawarkan, dengan tegas mengatakan,
“Nyawa anak saya tidak semurah itu.”
Kasus ini kini menjadi perhatian luas masyarakat, sekaligus membuka perdebatan tentang budaya kekerasan dan senioritas ekstrem di lingkungan militer.
Sidang lanjutan dijadwalkan kembali pekan depan dengan agenda pemeriksaan terdakwa utama, termasuk Pratu Aprianto Rede Radja dan dua rekan lainnya yang diduga terlibat langsung dalam penyiksaan hingga menyebabkan tewasnya Prada Lucky.











