SOALINDONESIA–JAKARTA Hakim nonaktif Djuyamto, terdakwa dalam kasus dugaan suap vonis lepas perkara ekspor crude palm oil (CPO), menyatakan keinginan untuk mengembalikan uang sebesar Rp 5,5 miliar kepada jaksa penuntut umum. Pernyataan itu disampaikan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (8/10).
Uang tersebut sebelumnya digunakan untuk pembangunan kantor terpadu Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama (NU) Kartasura, di mana Djuyamto menjabat sebagai ketua pelaksana pembangunan. Menurut kuasa hukumnya, uang itu telah terkumpul kembali setelah tanah kantor NU tersebut berhasil dijual.
“Kami baru hari ini mendapatkan informasi dari MWC NU Kartasura bahwa lahan yang sebelumnya digunakan untuk pembangunan kantor sudah dalam proses penjualan, dengan nilai sekitar Rp 5,5 miliar,” ujar penasihat hukum Djuyamto dalam persidangan.
Siap Serahkan Uang ke Jaksa Lewat Rekening Titipan
Tim penasihat hukum Djuyamto menyampaikan bahwa dana hasil penjualan tanah tersebut telah siap untuk dikembalikan dan hanya tinggal menunggu arahan teknis dari Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Kami hendak memohon kepada Majelis Hakim agar dana tersebut dapat kami serahkan kepada JPU melalui rekening penitipan. Kami siap mengikuti arahan, apakah diserahkan secara tunai atau melalui virtual account dari JPU,” jelas pengacara Djuyamto.
Mereka meminta agar proses ini bisa disepakati dan diputuskan sebelum sidang pembacaan tuntutan, yang direncanakan digelar pekan depan.
Menanggapi hal ini, jaksa menyatakan apresiasinya atas itikad baik Djuyamto dan menyebut pelaksanaan teknis pengembalian dana berada di bawah kewenangan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
“Kami ucapkan terima kasih atas niat baik dari pihak NU. Tapi secara teknis, pelaksanaan pengembalian ini ada di Kejari Jakarta Pusat. Kami perlu waktu untuk berkoordinasi,” kata jaksa dalam persidangan.
Hakim Minta Komunikasi Lanjutan Antarpihak
Ketua Majelis Hakim Effendi Mukhtar pun meminta agar komunikasi antara tim penasihat hukum dan pihak kejaksaan dilakukan secara langsung di luar sidang.
“Silakan dibangun komunikasi lebih lanjut. Proses seperti ini bisa dikoordinasikan langsung dengan JPU,” tegas Effendi.
Terdakwa Lain, Agam Syarief, Juga Akan Kembalikan Dana Rp 1 Miliar
Selain Djuyamto, terdakwa lainnya dalam perkara ini, Agam Syarief Baharudin, melalui kuasa hukumnya juga mengungkap rencana untuk mengembalikan uang sebesar Rp 1 miliar. Uang itu berasal dari pencairan reksa dana yang diduga terkait kasus ini.
“Kami ada pengembalian susulan, karena telah dilakukan penarikan reksa dana senilai Rp 1 miliar. Kami akan serahkan dalam waktu dekat,” ujar penasihat hukum Agam.
Majelis hakim pun mengarahkan tim hukum Agam untuk berkoordinasi langsung ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana arahan terhadap tim Djuyamto.
Latar Belakang Kasus Suap Vonis Lepas Ekspor CPO
Kasus ini mencuat dari putusan lepas (ontslag van alle rechtsvervolging) yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap terdakwa korporasi dalam perkara dugaan korupsi izin ekspor CPO. Dalam dakwaannya, jaksa menyebut terdapat aliran suap senilai total Rp 40 miliar kepada hakim dan pejabat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Lima orang terdakwa dalam kasus ini adalah:
Djuyamto (hakim)
Agam Syarief Baharudin (hakim)
Ali Muhtarom (hakim)
Muhammad Arif Nuryanta (eks Wakil Ketua PN Jakpus)
Wahyu Gunawan (mantan panitera muda)
Jaksa menyebut suap berasal dari sejumlah pengacara yang mewakili tiga korporasi besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Rincian penerimaan uang suap menurut dakwaan:
Muhammad Arif Nuryanta: Rp 15,7 miliar
Wahyu Gunawan: Rp 2,4 miliar
Djuyamto: Rp 9,5 miliar
Agam Syarief: Rp 6,2 miliar
Ali Muhtarom: Rp 6,2 miliar
Mereka didakwa melanggar berbagai pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi, termasuk Pasal 12 huruf c dan Pasal 12B juncto Pasal 18, serta pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang tindak pidana suap dan gratifikasi.
Langkah Djuyamto dan Agam Syarief untuk mengembalikan uang yang diduga hasil suap dinilai sebagai bentuk itikad baik, namun tidak otomatis menggugurkan proses hukum yang tengah berjalan. Keputusan akhir tetap berada di tangan Majelis Hakim dalam persidangan yang terus berlanjut di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sidang berikutnya dijadwalkan dengan agenda pembacaan tuntutan dari jaksa, di mana nasib hukum para terdakwa akan semakin jelas di mata publik.