SOALINDONESIA–JAKARTA Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek periode 2019–2023 akan terus berjalan meskipun tersangka Nadiem Makarim masih dibantarkan di rumah sakit.
“Tetap berjalan (penyidikan), kan kita tidak tergantung pada keterangan yang bersangkutan saja. Jadi kita sudah memeriksa beberapa orang saksi, sudah banyak saksi diperiksa terkait ini,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (8/10/2025).
Penjagaan Ketat Meski Dirawat
Anang memastikan, status hukum Nadiem sebagai tersangka tetap berlaku. Kejagung membantah anggapan bahwa dibantarkannya Nadiem sama dengan pelepasan status hukum.
“Dibantar itu bukan artinya lepas. Dijaga, ada enam orang setidaknya aplusan, dua-dua paling nggak, gantian,” jelas Anang.
Sementara itu, penyidik terus melanjutkan proses pengumpulan alat bukti, termasuk memeriksa para saksi dan mendalami keterlibatan berbagai pihak dalam proyek pengadaan yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 1,98 triliun.
Duduk Perkara Korupsi Chromebook
Kasus bermula dari pengadaan laptop berbasis Chrome OS dalam program transformasi digital pendidikan yang dijalankan oleh Kemendikbudristek sejak tahun 2020. Proyek ini lahir dari serangkaian pertemuan antara Nadiem dengan pihak Google Indonesia, yang membahas proyek bernama Google O-Education.
“Dengan menggunakan Chromebook yang bisa digunakan oleh Kementerian, terutama kepada peserta didik,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo.
Namun, dalam pelaksanaannya, pengadaan laptop tersebut diduga diarahkan atau “dikunci” hanya pada satu produk sistem operasi, yakni Chrome OS, tanpa melalui proses uji kelayakan yang terbuka dan adil. Hal ini dinilai melanggar prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah.
“NAM (Nadiem Anwar Makarim) telah menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021, yang dalam lampirannya sudah mengunci spesifikasi Chrome OS,” ungkap Nurcahyo.
Tak hanya itu, dalam rapat-rapat internal yang dilakukan secara tertutup, Nadiem disebut memberikan perintah langsung kepada pejabat dan staf khususnya untuk menyusun petunjuk teknis yang hanya mengakomodasi produk Chromebook.
Penghitungan Kerugian Negara Capai Rp 1,98 Triliun
Kejagung mengungkapkan bahwa estimasi kerugian negara dalam proyek pengadaan Chromebook mencapai lebih dari Rp 1,98 triliun, meskipun angka final masih menunggu penghitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Perhitungan kerugian negara juga BPKP sudah memainkan semua, sudah melakukan ekstra cepat,” kata Anang.
Gugatan Praperadilan: Kuasa Hukum Sebut Penetapan Tersangka Tidak Sah
Sementara itu, tim kuasa hukum Nadiem Makarim telah melayangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka menuding penetapan tersangka oleh Kejagung cacat formil karena tidak memiliki dua alat bukti yang cukup saat penetapan.
“Penetapan tersangka dan penahanan terhadap Pemohon yang dilakukan tepat di hari penerbitan surat perintah penyidikan menunjukkan bahwa Termohon belum memiliki bukti permulaan,” ujar kuasa hukum Nadiem dalam sidang praperadilan, Jumat (3/10/2025).
Mereka juga menyoroti masa berlaku Surat Perintah Penyidikan yang dinilai telah lewat batas maksimal 50 hari tanpa disertai penemuan alat bukti minimal, sehingga penetapan tersangka dianggap tidak sah secara hukum.
Respons Kejagung Soal Amicus Curiae
Sebelumnya, beberapa tokoh hukum nasional termasuk mantan Jaksa Agung dan pimpinan lembaga antirasuah turut mengajukan amicus curiae (sahabat pengadilan) dalam sidang praperadilan Nadiem, sebagai bentuk perhatian terhadap penanganan kasus ini. Namun, Kejagung menyatakan tetap fokus pada proses hukum objektif berbasis alat bukti.
“Kita bekerja sesuai aturan. Tidak terpengaruh oleh tekanan publik atau opini,” tegas Kapuspenkum Anang.
Penutup
Kejagung menyatakan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini tanpa pandang bulu. Meski Nadiem kini dirawat di rumah sakit, proses hukum terhadap dirinya akan tetap berjalan sesuai prosedur yang berlaku.
“Siapa pun yang terlibat, akan diproses sesuai hukum. Kita tidak berhenti hanya karena satu orang sedang dirawat,” tutup Anang.