SOALINDONESIA–JAKARTA Suasana haru menyelimuti ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (22/10), saat Panitera Muda Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan, menangis di hadapan majelis hakim. Tangis Wahyu pecah ketika menceritakan anak sulungnya yang enggan menemuinya sejak dirinya ditahan dalam kasus dugaan suap vonis lepas ekspor crude palm oil (CPO).
Awalnya, Ketua Majelis Hakim Effendi meminta Wahyu menjelaskan tentang keluarganya. Dengan suara bergetar, Wahyu mengaku telah menikah dan memiliki empat orang anak. Namun, ia tidak mampu menahan air mata ketika mengungkapkan bahwa anak pertamanya menolak untuk menemuinya selama ia berada di tahanan.
“Saya sudah menikah, memiliki istri dan empat orang anak. Anak pertama saya berusia 12 tahun,” ucap Wahyu lirih sambil terisak.
“Sejak awal saya ditahan sampai sekarang, anak saya tidak mau menemui saya,” lanjutnya dengan suara terbata.
Hakim Effendi kemudian mencoba menenangkan Wahyu sambil kembali menanyakan rincian tentang keluarganya. Dengan berat hati, Wahyu menjawab bahwa anak pertamanya bersekolah di Binus, Bekasi, duduk di kelas 2 SMP. Anak keduanya berusia 7 tahun dan baru masuk kelas 1 SD, sementara dua anak bungsunya masing-masing berusia 2 tahun dan 1 tahun.
Kasus Suap Vonis Lepas CPO
Wahyu Gunawan menjadi salah satu terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis lepas terhadap terdakwa perkara ekspor CPO.
Selain Wahyu, tiga hakim — Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom — serta eks Wakil Ketua PN Jakpus Muhammad Arif Nuryanta juga didakwa menerima suap dan gratifikasi terkait perkara tersebut.
Menurut dakwaan jaksa, para terdakwa menerima suap sebesar total Rp40 miliar dari para pengacara dan pihak yang mewakili korporasi besar, seperti Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Jaksa menjelaskan bahwa uang suap itu dibagikan dengan rincian:
Muhammad Arif Nuryanta menerima Rp15,7 miliar,
Wahyu Gunawan menerima sekitar Rp2,4 miliar,
Djuyamto memperoleh Rp9,5 miliar,
Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing menerima Rp6,2 miliar.
Dakwaan dan Ancaman Hukuman
Dalam persidangan, jaksa mendakwa Wahyu dengan Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun tiga hakim dan eks wakil ketua PN Jakpus dijerat pasal serupa dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup dan denda hingga Rp1 miliar.
Sidang Lanjut Pekan Depan
Majelis hakim menjadwalkan sidang lanjutan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan saksi ahli terkait aliran dana.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyingkap praktik korupsi di lingkungan peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum. Tangisan Wahyu di ruang sidang menambah sisi emosional dari perkara besar yang mencoreng citra lembaga peradilan tersebut.











